“Kalau dipaksa sama, justru rusak. Keyakinan itu tidak bisa dipaksa seragam. Tapi kalau dihormati, saling memahami, hasilnya indah,” tutur Candra Kusuma (70), pengurus Klenteng Phan Ko di Bogor.
Untuk memahami makna kata-kata tersebut, orang perlu menelusuri sebuah gang kecil di Kampung Pulo Geulis. Lorong itu hanya muat satu sepeda motor. Jika ada kendaraan dari arah berlawanan, salah satunya harus mengalah. Di ujung lorong sempit itulah berdiri bangunan bercat merah keemasan yang menyembul di antara rumah-rumah padat. Aroma dupa tercium sejak beberapa meter sebelum pintu gerbang.
Inilah Klenteng Phan Ko, tempat ibadah tua di Jl Pulo Geulis No 18, RT 02/RW 04, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Letaknya persis di tepian Sungai Ciliwung, sementara di sebelah baratnya membentang kawasan pecinan Bogor.
Begitu melewati pintu masuk, pengunjung disambut suasana khas klenteng. Lilin merah setinggi pinggang berjajar di altar, patung dewa berbalut hiasan emas berdiri gagah di tengah ruangan, dan ukiran naga menghiasi balok kayu penyangga atap.
Asap dupa mengepul pelan, menciptakan atmosfer sakral yang berpadu dengan temaram cahaya lampion. Ruangan inti ini seakan menjadi jantung Pulo Geulis, tempat di mana beragam keyakinan bertemu dalam satu nafas penghormatan kepada leluhur.
“Kalau dilihat dari latar belakang Kampung Pulo Geulis ini, pada tahun-tahun Pajajaran memang sudah dijadikan tempat peristirahatan keluarga raja,” tutur Candra membuka perbincangan dengan infojabar, Selasa (2/9/2025).
“Dulu Prabu Surawisesa menemukan pulau kecil ini sebagai tempat yang strategis dan sakral,” dia menambahkan.
Di dalam bangunan utama, tepat di sisi altar, terdapat sebuah batu besar yang dibiarkan apa adanya. Tidak dicat, tidak dipoles. “Itu peninggalan zaman megalitikum,” kata Candra sambil menepuk pelan batu itu.
“Warga di sini percaya batu ini bisa bernapas, membesar perlahan. Saya sudah lima belas tahun di sini, batunya tetap begitu, tapi orang bilang dulu lebih kecil. Kalau ada yang duduk bersandar, katanya tubuhnya jadi lebih ringan, seperti hawa negatif terhisap (batu),” kisah Candra.
Selain batu besar, di sekitar klenteng juga terdapat petilasan tokoh-tokoh Pajajaran. “Ada Raden Bangun Jaya, ada juga Prabu Surya Kencana. Itu bukan makam, karena tidak ada jenazahnya, tapi kita rawat sebagai bentuk penghormatan. Sejak dulu tempat ini memang diyakini sakral,” ujarnya.
Mengenai kapan tepatnya klenteng berdiri, Candra mengakui tidak ada catatan pasti. Yang jelas, menurut sejarah Kota Bogor, kata Candra, sekitar tahun 1703 sudah ada. Belanda saat itu menemukan tempat ini sudah berpenghuni dan ada klentengnya. Meski masih sederhana. Renovasi besar baru tahun 70-an.
“Ada juga cerita lisan yang bilang klenteng ini sudah ada sejak 1652, tapi itu tidak ada bukti tertulisnya,” beber Candra.
Bagi Candra, keunikan klenteng ada pada sifatnya sebagai ruang tradisi, bukan sekadar tempat ibadah satu agama. “Kalau vihara itu khusus untuk umat Buddha, klenteng itu tradisi. Siapa pun boleh datang. Mau Buddha, Konghucu, Kristen, Katolik, Hindu, bahkan Muslim, asal tujuannya menghormati leluhur. Kami persilakan,” ujarnya.
Ia menambahkan, doa di klenteng tidak dibatasi. Karena secara esensi Klenteng menjadi sebuah tempat penghormatan leluhur.
“Ada yang Kristen, baca doa dari Alkitab. Ada yang Muslim, membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Katolik juga begitu. Intinya kami tidak membatasi, asal datang dengan sopan. Kalau masuk lalu joget-joget atau merusak, itu tidak boleh. Tapi kalau dengan hormat, permisi, lalu berdoa, silakan,” kata Candra.
Meski mayoritas warga Pulo Geulis kini beragama Islam, keberadaan klenteng tidak pernah menjadi masalah. Justru sebaliknya, klenteng sering menjadi ruang pertemuan.
“Kami tidak pernah membatasi. Bahkan di sini ada musala kecil. Kalau ada yang mau salat, silakan. Pernah juga tamu dari Muhammadiyah datang, dosen dan dekan ikut beribadah,” ungkapnya.
Setiap malam Jumat, ruangan yang biasanya penuh dengan dupa dan lilin merah berganti dengan lantunan doa-doa pengajian dan tawasulan.
“Kalau bulan Maulid, kami adakan perayaan bersama. Warga Muslim datang, umat lain juga hadir. Kami saling bersilaturahmi. Pernah juga buka puasa bersama lintas agama. Jadi tempat ini bukan hanya klenteng, tapi rumah bersama,” ujarnya.
Siang itu, beberapa ibu-ibu terlihat sibuk menyiapkan bahan-bahan di dapur sederhana di samping klenteng. Beras, sayuran, ayam, dan telur ditata rapi di meja.
“Kami sedang menyiapkan tumpeng untuk Maulid Nabi minggu depan,” kata Candra sambil tersenyum.
“Sudah tradisi di sini. Semua warga ikut, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Ini bagian dari cara kami menghormati leluhur sekaligus menjaga silaturahmi,” dia menambahkan.
Kegiatan lintas agama ini bahkan menarik perhatian pemerintah lokal. Beberapa kali rapat lurah se-Kecamatan Bogor Tengah digelar di Klenteng Phan Ko. Pernah pula seorang kyai dengan bangga mengenakan kaos agama Buddha pemberian biksu Palembang.
“Dia bilang ke saya, ‘Pak, saya dapat kaos dari biksu di Palembang, makanya saya pakai ke sini.’ Itu indah sekali. Simbol toleransi nyata,” katanya.
Menurut Candra, harmoni ini juga membawa dampak ekonomi pada warga sekitar klenteng. Bila acara besar digelar, warung-warung sekitar ramai kecipratan rejeki. Pedagang makanan laris.
“Pernah ada tamu pesan makanan di sini, ternyata cocok, lalu pesan lagi untuk acara keluarga. Jadi selain ibadah, klenteng juga menghidupkan ekonomi kampung,” ujar Candra.
Ia menekankan, inti dari keberadaan Klenteng Phan Ko adalah saling menghormati, saling cinta, dan harmoni.
“Kalau dipaksa sama, justru rusak. Keyakinan itu tidak bisa dipaksa seragam. Tapi kalau dihormati, saling memahami, hasilnya indah. Seperti di sini, Pulo Geulis. Kita hidup berdampingan, saling mengerti, saling menghargai.”
Harmoni itu juga dirasakan langsung oleh warga sekitar. Susilawati (68), akrab dipanggil Liauw Tian Ho, adalah salah satunya. Dia tinggal di Pulo Geulis sejak usia empat tahun.
“Hidup berdampingan dengan orang yang bukan satu suku, bukan satu agama, ya saling pengertian saja. Tidak pernah ada penolakan,”katanya.
Dulu kampung Pulo Geulis tidak seramai sekarang, masih sepi. Tapi kalau ada acara-acara Muslim atau acara orang Tionghoa, semua warga urun daya tanpa melihat apapun latar belakang mereka masing-masing.
“Kami semua ikut terlibat. Itu bukan dipaksa, dorongan sendiri, karena sudah kenal, sudah biasa. Waktu generasi berganti, anak-anak kami pun terbiasa ikut serta,” katanya.
Dari Pulo Geulis, kampung kecil di tepian Ciliwung, lahir pesan besar bagi Indonesia bahwa keberagaman tidak perlu ditakuti, ia cukup dirawat dengan saling menghormati, agar indahnya kebersamaan terus hidup lintas zaman.