Sejarah kemerdekaan Republik Indonesia tak hanya berpusat di Rengasdengklok, bagi masyarakat Kabupaten Karawang banyak lokasi penting yang bersejarah dan banyak di antaranya luput dari ingatan.
Salah satunya yakni monumen Gempol Ngadeupa. Tak banyak orang tahu, bahkan tak ada literasi rujukan untuk menggali kisah tersebut, lokasi monumen itu berada di kaki Gunung Goong, Desa Cipurwasari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang.
Saat dikunjungi infoJabar, pada Minggu (10/8/2025), situs tersebut terlihat hanya seperti patung biasa, namun kisah dibaliknya menyimpan cerita kelam kekejian serangan Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II.
Anggota Komisi III DPRD Karawang Khoerudin, menuturkan, monumen tersebut dibangun oleh Pangdam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi dan resmikan pada 13 Mei 1996, kala ia menjabat Pangdam periode 1995-1997.
Selaku pengelola monumen tersebut, Khoerudin menceritakan, Gempol Ngadeupa merupakan nama istilah yang pada saat Agresi Militer Belanda II tempat itu menjadi gembong atau sarang peristirahatan tentara pejuang kemerdekaan. “Dinamai Gempol Ngadeupa ini, Gempol itu karena di sini ada pohon gempol, dan bahasa Ngadeupa itu, istirahat dalam istilah Sunda. Jadi Gempol Ngadeupa ini tempat peristirahatan pada gembong atau komandan dan batalyonnya beristirahat,” terang Khoerudin saat berbincang bersama infoJabar.
Gempol ngadeupa sendiri, kata Khoerudin, jadi lokasi peristirahatan setiap tentara yang melintas dari arah timur atau Yogyakarta menuju Jakarta, kala itu rute Karawang bagian selatan yang merupakan kawasan hutan dan pegunungan dianggap rute paling aman. “Jadi ini memang rute peristirahatan, bukan markas, kenapa bisa di sini, ini lokasi hutan dulu dianggap aman, karena berada di lembah yang diapit gunung-gunung, ini kan kaki Gunung Goong, sebelah berat Gunung Seureuh, di timur Gunung Rungking. Jadi semacam lokasi istirahat dengan benteng alami,” kata dia.
Tragedi yang terjadi di Gempol Ngadeupa, merupakan ironi yang pahit, sebab di situlah gugurnya puluhan tentara pejuang kemerdekaan yang dipimpin oleh Engkong Darsono, yang sampai saat ini batalyon tersebut juga diberi nama Batalyon Engkong Darsono.
“Di kaki gunung ini sebelah bawah batalyon yang dipimpin oleh Engkong Darsono mengalami serangan udara yang brutal oleh pasukan Belanda, kemudian lari ke tempat berdirinya monumen ini, tentara pejuang kemerdekaan juga mengalami serangan darat pasukan Belanda,” ungkapnya.
Gempol Ngadeupa, kata Khoerudin, menjadi rute utama pengiriman bala bantuan tentara pejuang kemerdekaan, seperti halnya Batalyon Engkong Darsono, mereka merupakan tentara pejuang dari Madiun yang menempuh perjalanan menyusuri hutan rimba, melalui Gempol Ngadeupa.
“Iya ini seperti yang diceritakan dalam prasasti, ini bukan markas, tapi tentara dulu kan jalan kaki lewat hutan, jadi Batalyon Engkong Darsono ini juga berasal dari Madiun, mereka akan dikirim ke Jakarta, dan kebetulan beristirahat di sini,” ungkapnya.
Tak ada yang tahu persis kapan peristiwa Gempol Ngadeupa terjadi, namun berdasarkan keterangan saksi hidup, kata Khoerudin, peristiwa itu terjadi sekitar bulan September 1948.
“Kalau waktunya tepat kapan serangan belanda itu terjadi mungkin sulit, karena berdasarkan cerita dari saksi hidup usianya juga sudah sepuh, dia hanya ingat terjadi sekitar bulan September 1948,” ucap Khoerudin.
Berdasarkan pantauan infojabar, lokasi monumen Gempol Ngadeupa terletak tepat di bawah tebing kaki Gunung Goong, monumen itu berpagarkan terali besi sederhana dengan luas kurang lebih 120 meter persegi.
Di dalamnya terdapat satu prasasti yang menceritakan kronologi singkat peristiwa Gempol Ngadeupa, yang di atasnya dibangun patung seorang tentara yang mengibarkan bendera. Masih dalam lokasi pagar monumen juga terdapat sembilan makam tanpa nama, dan makam tersebut diyakini merupakan jasad para tentara pejuang kemerdekaan yang gugur akibat serangan udara dan darat tentara Belanda di Gempol Ngadeupa.
“Untuk 9 makam ini, jadi itu 9 prajurit yang gugur di sini, sebenarnya, jumlah batalion itu kan 48 orang termasuk Engkong Darsono, yang meninggal di sini, sekitar 30 orang. Nah yang 9 makam ini justru yang jasadnya masih utuh, sementara 21 jasad lain hancur,” ungkap Khoerudin.
30 orang tentara pejuang kemerdekaan yang gugur tersebut, kata Khoerudin, sampai dengan saat ini dimakamkan tanpa nama, karena semuanya merupakan prajurit dari luar daerah. “Iya bisa dibayangkan, ada 30 orang yang meninggal, yang jasadnya utuh hanya 9, betapa brutalnya serangan Belanda waktu itu, kenapa ini tanpa nama, karena para tentara ini kan dari luar daerah, nggak ada yang kenal orang sini. Kalau dulu tentara seragamnya juga gak kayak sekarang, mereka nggak ada namanya,” pungkasnya.