Piramida Giza memang menjadi simbol kejayaan peradaban Mesir Kuno dan magnet bagi wisatawan dari seluruh dunia. Namun di balik kemegahannya, situs bersejarah ini menyimpan sisi kelam yang kerap luput dari sorotan: penderitaan hewan-hewan pekerja.
Mengutip laporan dari New York Post pada Selasa (6/5/2025), jumlah kunjungan wisatawan ke Piramida Giza mencapai 17,5 juta orang sepanjang 2024. Lonjakan ini menimbulkan tekanan besar, tak hanya pada infrastruktur, tetapi juga pada hewan-hewan seperti unta, kuda, dan keledai yang dipaksa bekerja tanpa henti demi mengangkut turis.
Organisasi perlindungan hewan, PETA, sudah lama mengecam praktik eksploitasi hewan di kawasan wisata Giza. Dalam penyelidikan mereka pada 2023, ditemukan bukti perlakuan kasar di pasar Birqash-tempat banyak unta dijual sebelum dibawa bekerja di lokasi wisata bersejarah seperti Piramida Agung Giza dan Saqqara.
Tragisnya, tidak ada masa pensiun bagi hewan-hewan ini. Ketika mereka sudah tidak kuat bekerja, mereka dikembalikan ke pasar dan akhirnya dikirim ke rumah jagal.
Wakil Presiden PETA Asia, Jason Baker, mengungkapkan bentuk kekejaman yang dialami hewan-hewan tersebut.
“Hewan-hewan secara harfiah ditunggangi sampai mati dan kemudian dibuang seperti sampah di luar gerbang. Piramida Giza seharusnya melambangkan keindahan dan sejarah Mesir, bukan kekejaman hewan yang tidak terkendali. Pemerintah Mesir harus bertindak untuk mengeluarkan hewan-hewan yang menderita ini dari Giza,” ujar dia.
Penderitaan hewan di lokasi wisata ini bukan hanya soal kelelahan fisik, tetapi juga kekerasan. PETA menyebut kuda dan unta yang digunakan di area piramida kerap menjadi korban pemukulan, penendangan, bahkan dicambuk tanpa ampun, serta dibiarkan kelaparan.
Pemerintah Mesir menyadari adanya tekanan dari dunia internasional dan telah berupaya merespons. Salah satunya dengan meluncurkan program kesejahteraan hewan dan memperkenalkan transportasi ramah lingkungan di situs-situs bersejarah, termasuk di Giza.
Bus listrik pun diperkenalkan sebagai alternatif transportasi wisata, bertujuan mengurangi ketergantungan pada hewan dan menekan polusi.
Namun, upaya ini masih belum sepenuhnya menjawab kebutuhan di lapangan. Beberapa wisatawan mengeluh melalui media sosial tentang terbatasnya jumlah bus listrik yang tersedia. Akibatnya, sebagian dari mereka harus berjalan kaki di bawah terik matahari atau menunggu lama tanpa kepastian.
Sementara inisiatif ini patut diapresiasi, banyak pihak menilai bahwa perlindungan terhadap hewan di Giza masih jauh dari ideal. Selama praktik kekejaman terhadap hewan terus berlangsung di balik megahnya piramida, sisi gelap pariwisata Mesir akan terus membayangi warisan peradaban dunia ini.