Sejarawan Ungkap Hari Jadi Majalengka 7 Juni 1490 Tak Akurat

Posted on

Budayawan Kabupaten Majalengka, Rachmat Iskandar atau Rais, mempunyai keyakinan lain terkait penetapan Hari Jadi ‘Kota Angin’. Hari jadi yang selama ini diperingati setiap 7 Juni dinilai keliru secara historiografi dan lemah dasar keilmuannya.

Menurut Rais, penetapan 7 Juni 1490 M yang didasarkan pada 10 Muharam sebagai momen ‘spiritual’ tak memiliki keterkaitan langsung dengan sejarah lokal Majalengka.

“Saya tetap pada pendapat saya, kesalahan penetapan hari jadi Majalengka dimulai dari penetapan tanggal 7 Juni 1490, sistem penghitungan yang tak jelas dasar keilmuannya,” kata Rais kepada infoJabar, Rabu (7/5/2025).

“Ditetapkan saja tanggal 10 Muharam sebagai hari kejadian yang tak ada hubungannya dengan sejarah Majalengka, tapi hanya asumsi bahwa 10 Muharam 1490 M adalah hari saat Isa diangkat ke langit. Selain itu tidak memenuhi sarat sarat historiografi dengan sumber rujukan yang sangat lemah,” tambahnya.

Di sisi lain, ia juga menyoroti makam Pangeran Muhamad di Bukit Margatapa. Makam yang diyakini tokoh pernah hidup di masa Nyi Rambut Kasih (tokoh legenda yang selalu dikaitkan dengan berdirinya Majalengka) itu juga dipertanyakan.

“Mengenai keberadaan makam di Margatapa yang diduga sebagai makam Pangeran Muhammad. Sudono, mantan Penilik Kebudayaan yang tinggal di Desa Kasokandel, menemukan serpihan kulit yang isinya ternyata merupakan sebuah surat pusaka yang ditandatangani Kyai Raden Imam Hukum, Hakim Kanoman, Cirebon. Tertanggal 18 Muharam Tahun Jim akhir 1215 H atau taun 1794 M. Isinya sebuah surat penunjukkan sebagai kuncen (sekar dalem) kepada Suropuddin, Nurqoim dan Muhammad Hafidz yang setiap malam jumat harus bertugas sebagai sekar dalem di keraton Cirebon secara bergilir,” jelas Rais.

“Yang menarik dari data autentik pada surat resmi di atas kulit kambing tersebut adalah, adanya keterangan bahwa karena ketiganya terlibat konflik dengan penduduk setempat. Muhamad Hapidz dan Suropuddin, akhirnya mereka mengasingkan diri di tempat yang bernama Kaya Tapane Tor. Sudono menterjemahkannya seperti semedi yang khusyu. Muhamad Hapidz bahkan sampai meninggal di tempat yang kemudian bernama Margatapa tersebut,” sambungnya.

Rais juga memaparkan, tonggak historis berdirinya Majalengka sebagai regentschap (kabupaten) justru berawal dari keruntuhan Dinasti Talagamanggung pada 1692, saat Ratu Tilarnagara dan suaminya, Secanata, lari dari serbuan VOC. Pusat pemerintahan lalu bergeser ke Jerokaso, hingga akhirnya pada 11 Februari 1840, melalui Staatsblad Nomor 7, ibu kota dipindahkan dari Maja ke Sindangkasih dan secara resmi terbentuklah Regentschap Majalengka.

“Sejarah berdirinya Majalengka sebagai regentschap berawal dari keruntuhan Dinasti Talagamanggung pada saat Ratu Tilarnagara. Karena suaminya, Secanata merupakan raja terakhir Talaga yang tidak kompromistis dengan pemerintahan Belanda pada saat itu. Maka dia digempur tentara VOC dan lari meninggalkan keraton (1692). Sejak itu, pusat kerajaan Talaga dipindahkan ke Jerokaso,” terang Rais.

“Majalengka sendiri resmi menjadi regentschaap Majalengka setelah pada tanggal 11 Februari 1840 berdasarkan Staatsblad 1840 Nomor 7, pusat pemerintahannya dipindahkan dari Maja ke Sindangkasih dengan nama regentschaap Majalengka. Namun bila melihat proses berdirinya regentschaap Maja telah berdiri sejak tahun 1819. Staatsblad 1819 Nomor 9 dan Staatsblad Nomor 23, menyebutkan Cirebon meliputi 5 regentshcappen. Dan tanggal inilah (11 Februari) tepat untuk dijadikan penanggalan hari jadi Majalengka,” tambahnya.

Ia juga mengutip catatan Leiden dan Daghregister Batavia yang menyebut struktur pemerintahan Majalengka sudah terbentuk sejak sebelum 1682. Ditambah prasasti Gunung Inten yang menyebut sosok Arya Sriningrat sebagai penguasa Majalengka pada tahun 1327 Hijriah.

Rais mengakui bahwa masyarakat mulai jenuh dengan penetapan resmi yang tidak akurat. Bahkan selama tujuh tahun terakhir, sejumlah kelompok mulai merayakan Hari Jadi Majalengka secara swadaya di luar perayaan pemerintah.

“Di Padepokan Wijayakusumah, tempat dimakamkannya bupati pertama RT Dendanegara, masyarakat menyelenggarakan sendiri peringatan hari jadi dengan dasar historiografi yang jelas dan telah diteliti sejak 2005,” pungkasnya.