Tren konten kesehatan mental yang marak di media sosial, seperti video singkat tentang Narcissistic Personality Disorder (NPD), bipolar, hingga depresi, kini banyak menarik minat masyarakat. Hal ini salah satunya menunjukkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental.
Namun, di balik hal tersebut, psikolog mengingatkan bahaya melakukan self-diagnosis atau diagnosis diri tanpa konsultasi profesional. Psikolog klinis asal Kota Bandung, Rahmatika Septina, menyebut fenomena self-diagnosis sebagai sesuatu yang makin sering ia temui, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

“Iya, sekarang kan banyak video-video singkat yang bilang, ‘kalau kamu begini, berarti kamu NPD atau bipolar’. Sebenarnya kalau sekadar untuk edukasi atau ajang mengenal diri sendiri, nggak apa-apa,” ungkap Rahmatika saat diwawancarai infoJabar belum lama ini.
Namun, ia mengatakan, tak jarang orang langsung mengklaim diri mengalami gangguan mental tertentu hanya karena merasa cocok dengan penjelasan singkat dalam konten yang ditonton. Bahkan, konten-konten tersebut terkadang dijadikan alasan agar orang lain bisa memaklumi perilaku mereka.
“Tapi yang bahaya, ada juga yang langsung percaya satu video, merasa dirinya memang seperti itu, dan minta dimaklumi oleh lingkungan sekitarnya,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa proses diagnosis gangguan mental tidak sesederhana melihat kecocokan ciri-ciri dari internet. Bahkan, profesional seperti psikolog dan psikiater pun membutuhkan beberapa kali sesi pemeriksaan dan observasi sebelum menetapkan seseorang memiliki gangguan tertentu.
“Psikolog dan psikiater pun butuh beberapa kali pemeriksaan untuk menemukan gangguan apa yang terjadi di diri seseorang. Jangan sampai mudah memberi label pada diri hanya karena nonton satu konten,” terangnya.
Menurutnya, konten-konten tersebut dapat membantu membuat seseorang sadar akan potensi gangguan mental yang terjadi pada dirinya. Namun, sebaiknya konten hanya dijadikan sebagai jembatan menuju konseling lebih lanjut.
“Kalau tujuannya untuk mengenal diri dan cari solusi, itu nggak apa-apa. Tapi jangan berhenti sampai situ. Harus lanjut cari tahu, mau ngapain setelahnya. Misalnya merasa punya ciri-ciri tertentu, lalu datang ke psikolog untuk cari tahu lebih lanjut,” ujarnya.
Dilansir dari laman web Universitas Indonesia (UI), dijelaskan bahwa self-diagnosis adalah kebiasaan mengamati dan menafsirkan gejala yang dirasakan berdasarkan informasi dari luar. Seperti internet, artikel, atau pengalaman orang lain, tanpa mendapat verifikasi dari tenaga medis.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Perilaku ini seringkali bermula dari dorongan ingin tahu atau merasa cocok dengan gejala yang ditemukan melalui pencarian online, lalu secara sepihak menyimpulkan bahwa dirinya mengidap gangguan tertentu.
Faktor pendorong self-diagnosis beragam. Seperti keterbatasan waktu dan biaya, merasa gejala yang dialami tidak terlalu serius, dan sebagainya. Namun, pendekatan seperti ini bisa menimbulkan risiko terhadap kesehatan mental dan fisik.
Dampak Buruk Self-Diagnosis pada Kesehatan Mental
Menurut artikel berjudul “Self Diagnosis, Pengertian dan Risikonya yang dibuat oleh Fakultas Psikologi UI, dijelaskan bahwa terdapat sejumlah dampak buruk yang bisa dialami seseorang bila melakukan self-diagnosis gangguan mental. Di antaranya meliputi, dampak kognitif, yakni individu dapat merasa tidak yakin atau bingung dengan kondisi dirinya. Informasi yang tidak tervalidasi bisa menimbulkan kecemasan berlebih dan keyakinan salah bahwa kondisinya tak bisa disembuhkan, sehingga menimbulkan rasa tidak berdaya.
Kemudian, dampak afektif yakni proses mendiagnosis diri sendiri bisa memicu tekanan emosional, kegelisahan, dan kekhawatiran mendalam tentang masa depan. Dan, dampak perilaku yakni seseorang yang meyakini hasil self-diagnosis berpotensi mengalami perubahan perilaku negatif, seperti menarik diri dari lingkungan sosial, marah tanpa alasan jelas, hingga mencari pelarian melalui hal yang merusak.
Lebih lanjut, Rahmatika tak menampik bahwa salah satu pemicu munculnya kecenderungan self-diagnosis tak terlepas dari keterbatasan akses maupun pengetahuan seputar profesional di bidang kesehatan mental.
“Mereka kadang enggak tahu bagaimana caranya mengakses psikolog. Tidak tahu nanti harus cerita apa, dan harus bayar berapa kalau konsultasi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, berkonsultasi dengan psikolog bisa dilakukan bahkan sebelum ada masalah besar. Saat seseorang merasa bingung dengan perasaannya atau butuh tempat bercerita tanpa takut dihakimi, psikolog dapat menjadi tempat yang aman.
“Sebenarnya sama saja seperti check-up kesehatan fisik. Jadi sebelum mau meledak atau sebelum muncul masalah yang lebih berat, nanti psikolog bisa bantu untuk mencari tahu masalahnya,” jelasnya.