Nyi Roro Kidul di Antara Hormat dan Rasa Takut - Giok4D

Posted on

Dua batu raksasa menjulang di pesisir pantai, tak jauh dari mulut Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Warga setempat menyebutnya Batu Karut.

Bukan hanya sekadar tumpukan batu vulkanik dari zaman purba, tapi batu itu dipercaya sebagai gerbang tak kasat mata menuju kerajaan Nyi Roro Kidul, penguasa laut Selatan, yang hingga kini masih diyakini menjaga wilayah ini.

Di sisi lain, ada sosok Abah Firman Nirwana Boestoemi. Ia bukan orang baru di pesisir ini. Ia lahir dari garis keturunan penjaga tradisi. Kakeknya Aki Utom Boestoemi adalah salah satu tokoh awal yang memimpin ritual sedekah laut pada masa-masa awal Hari Nelayan digelar di Palabuhanratu puluhan tahun silam.

Almarhum ayahnya Asep Wahyu Nirwana Boestoemi pun dikenal sebagai anggota DPRD Kabupaten Sukabumi yang juga panjak atau pawang laut yang dihormati. Kini, Firman melanjutkan tapak warisan itu, menjadi penjaga ingatan dan adab masyarakat pesisir terhadap laut.

“Laut itu bukan milik kita. Ia tempat hidup yang harus dihormati. Nenek moyang kami mengajarkan, jangan ambil lebih dari yang dibutuhkan. Dan sebelum mengambil apa pun, minta izin dulu pada yang jaga,” ucapnya.

Batu Karut berdiri angkuh di batas pasir dan ombak. Dua tumpukan batu dengan tinggi hampir delapan meter itu menjulang saling berhadapan, langsung menghadap laut lepas. Tidak jauh dari batu tersebut, terpasang panel bertuliskan ‘UNESCO Geopark Ciletuh’.

Dalam keterangan itu, dijelaskan batu ini terbentuk dari proses pendinginan lava atau abu vulkanik yang sangat panas secara perlahan, menciptakan kekar kolom yang unik. Formasi ini menjadi bagian dari narasi geologi masa lalu, sekaligus menjadi ruang imajinasi bagi masyarakat pesisir.

Masih tertulis di atas panel itu, kedua batuan ini ternyata lebih dari sekadar peninggalan alam, Batu Karut diyakini sebagai pintu gerbang menuju kerajaan bawah laut. Bentuknya yang menyerupai gerbang seolah menjadi simbol laut di depan sana bukan sekadar hamparan air, melainkan halaman depan istana gaib Nyi Roro Kidul. Keyakinan ini menyatu dalam istilah lokal yang kuat, Palabuhanratu, Pelabuhan Sang Ratu.

Saat matahari condong ke barat dan angin laut menepi, kawasan ini berubah jadi altar alami. Warga sering meletakkan sesajen di sela-sela batu, atau sekadar menunduk pelan saat melewati jalurnya. Di sinilah laut, angin, dan keyakinan bertemu.

Tak jauh dari sana, sekitar sekitar tiga kilometer ke arah barat, terhampar tebing dan batuan terjal Karang Hawu. Nama “Hawu” diambil dari bentuk tebing yang menyerupai tungku perapian. Di tempat inilah, kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul menjelma paling kuat. Konon, Karang Hawu adalah tempat beliau naik ke permukaan tampil dalam bentuk perempuan berjubah hijau, saat langit dan laut menyatu dalam senyap.

“Di Karang Hawu itu pusatnya. Itu altar terbuka. Kalau orang berdoa atau bersemedi di sana, harus bersih lahir-batin. Banyak yang datang malam Jumat Kliwon atau di bulan Suro,” tutur Abah Firman.

“Kami bukan menyembah. Kami menghormati. Karena di tanah dan laut ini, ada yang lebih dulu tinggal sebelum manusia datang,” pungkas Abah Firman.

Tak hanya dari Jawa Barat, para spiritualis dari berbagai daerah pun rutin datang ke Karang Hawu. Salah satunya Ki Mulyo, seorang peziarah dari Banyumas, Jawa Tengah, yang mengaku telah hampir dua dekade menjalani tirakat di pantai ini. Ia kebetulan berada di kawasan Karang Hawu dalam rangka perayaan satu Suro.

“Setiap tahun saya ke mari, biasanya bulan Suro atau sebelum Ramadan. Di sini beda rasanya. Anginnya tajam, lautnya dalam, dan kalau kita duduk diam, seperti ada yang memperhatikan. Saya percaya ini tempat yang dijaga oleh Sang Ratu dengan pengikut-pengikutnya,” ujar Ki Mulyo.

Bagi masyarakat pesisir Palabuhanratu, Nyi Roro Kidul bukan hanya Sang Ratu Laut Selatan, tetapi juga sosok Ibu yang menjaga dan mengatur keseimbangan antara laut dan manusia.

Sebutan lain yang kerap terdengar adalah ‘Ibu Ratu’ atau ‘Gusti Kanjeng Ratu’, penanda kedekatan batin masyarakat terhadap figur ini. Ia diyakini sebagai penjaga tatanan dan penentu batas, mana yang boleh dan mana yang tidak.

“Tak sedikit yang percaya bahwa Sang Ratu hadir dalam mimpi untuk memberi peringatan atau petunjuk. Karena itulah, masyarakat tidak sekadar takut, tapi juga menyayangi seperti kepada ibu yang kuat dan tegas,” tutur Ki Mulyo.

Legenda Nyi Roro Kidul di wilayah ini tidak hidup sebagai cerita hiburan atau bumbu wisata semata. Ia menjelma sebagai sosok yang nyata dalam kesadaran kolektif masyarakat pesisir sebagai penguasa laut selatan yang disegani, dijaga, dan dihormati dalam setiap gerak hidup mereka.

Di Palabuhanratu, kehadirannya diyakini tidak hanya dalam rupa simbol, tetapi juga dalam napas sehari-hari: dalam arah angin yang berubah tiba-tiba, ombak yang menggulung tak biasa, atau bisikan halus dalam mimpi seseorang.

Warga percaya bahwa Sang Ratu Laut Selatan bukan makhluk pengganggu, melainkan penjaga tatanan. Ia akan merestui siapa pun yang datang dengan niat baik dan adab, namun tak segan menunjukkan kuasanya kepada mereka yang berlaku sembarangan di wilayahnya.

Itulah sebabnya, anak-anak diajarkan sejak dini untuk tidak sembarangan menyebut nama beliau, tidak mengenakan warna hijau di laut, dan selalu memulai pelayaran dengan doa dan sesaji.

Tradisi ini diwariskan lintas generasi, dijaga dalam zikir malam, dalam larung di pinggir pantai, dan dalam cerita-cerita yang disampaikan pelan saat angin malam berembus dari laut. Karena bagi mereka, Nyi Roro Kidul bukan legenda untuk ditakuti, melainkan kekuatan yang harus dihormati dan disyukuri.

Di setiap sudut pesisir, dari Palabuhanrtu, Citepus hingga Cisolok, nelayan masih meletakkan bunga tujuh rupa sebelum melaut. Anak-anak diajarkan untuk tidak sembarangan menyebut nama sang Ratu. Bahkan, ada aturan tak tertulis: jangan memakai baju hijau saat berada di laut. Warna itu milik Sang Penjaga.

“Kami orang laut. Jadi kami tahu mana yang harus dihormati. Nyi Roro Kidul itu bukan mitos buat kami. Dia nyata dalam cara kami hidup dan melaut,” kata Engkos Koswara, seorang nelayan Citepus yang sudah lebih dari 30 tahun melaut di perairan Palabuhanratu yang mengaku selalu melemparkan kembang setiap hendak berlayar.

“Saya tetap jaga kebiasaan itu bukan karena takut, tapi karena itu bagian dari tradisi orang laut. Laut ini tempat kita hidup dan cari makan, sudah sepatutnya dijaga dan dihormati,” ujarnya.

Selain itu, kawasan ini memiliki penanda sakral bernama Kabendon sebuah titik di pesisir yang diyakini sebagai batas halus antara dunia manusia dan wilayah gaib penjaga laut. Kabendon bukan sekadar tempat larung sesaji, tapi menjadi simbol bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap alam, khususnya laut.

Dalam pandangan masyarakat pesisir, laut bukan hanya sumber nafkah, tapi ruang hidup yang layak dihormati. Mengotori laut, memperlakukannya dengan semena-mena, atau membuang limbah ke dalamnya dianggap sebagai tindakan lancang yang bisa mendatangkan kabendon atau tulah atau balasan dari alam atas perilaku yang tidak pantas.

Alam telah memberi kehidupan, maka sudah semestinya manusia membalas dengan menjaga, bukan merusak. Menghormati, bukan menguasai. Bagi masyarakat di sini, kabendon adalah wilayah janji, tempat manusia menundukkan kepala sebelum meminta sesuatu dari laut. Bukan tempat untuk main-main, apalagi mengabaikan adab.

Sebagai bagian dari Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, kawasan ini memang menyimpan formasi batuan tua yang terbentuk sejak jutaan tahun lalu. Namun bagi warga, batu tua dan laut luas ini bukan sekadar lanskap. Ia adalah tubuh besar yang hidup, dihuni oleh yang tak terlihat, dan harus dijaga dengan laku serta tata.

Kerajaan Laut di Atas Batuan Purba



Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.