Merayakan Tutup Taun Ngemban Taun Saka Sunda di Kampung Adat Cireundeu

Posted on

Tahun baru Masehi sudah menginjak 2025, Tahun baru Islam sudah menginjak 1447 Hijriah, dan ternyata ada juga Tahun baru Saka Sunda yang kini sudah menginjak tahun 1959.

Pergantian Tahun Baru Saka Sunda dirayakan dengan meriah oleh masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi. Ujung tombak pelestarian budaya Sunda di tanahnya sendiri, namun tak punya tempat istimewa di benak orang-orang yang mewarisi darah Sunda.

Beruntung masyarakat Kampung Adat Cireundeu merayakan pergantian tahun saka Sunda dengan meriah. Lewat pergelaran kebudayaan ditutup dengan acara puncak doa bersama dipimpin sesepuh adat dihadiri orang-orang dari luar kampung yang ada di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan itu.

Nuansa perayaan begitu terasa, dengan hiasan hasil bumi seperti setandan pisang yang dipasang di sepanjang jalan menuju Kampung Adat Cireundeu. Belum lagi janur kuning yang dipasang serupa penunjuk arah ke tempat perayaan.

Emak-emak menggandeng anak hilir mudik. Tak cuma mengikuti rangkaian acara, mereka juga sibuk berbelanja ragam produk olahan berbahan dasar singkong khas Kampung Adat Cireundeu. Tempat yang tak terlalu lega, tak pelak bikin badan beradu satu sama lain.

Di bale warga, hiasan lebih warna warni. Ada jambu air yang dibentuk menyerupai naga. Ada buah-buahan yang disusun mengerucut bak gunung. Serta lalu lalang peserta acara dalam balutan pangsi hitam dan putih. Seolah-olah kita sedang berada di sebuah kerajaan sunda seperti yang tergambar di sinema layar kaca.

Doa dipimpin sesepuh Kampung Adat Cireundeu. Bau dupa menyeruak seketika. Alunan gamelan mengiringi prosesi khidmat ketika puja-puji untuk Yang Maha Kuasa dipanjatkan.

5 menit berlalu, semua kembali menengadahkan kepala selepas tunduk hanyut dalam doa. Pembaca acara lalu mempersilakan orang-orang yang hadir mencicipi kudapan yang sudah disediakan.

Kacang rebus, ubi rebus, bugis, katimus, putri noong, comro, misro, buah-buahan, dan makanan tradisional lain seketika diserbu warga yang sudah lama menunggu. Namun hasil bumi yang masih tergantung sebagai hiasan, dilarang diambil sebelum acara selesai sepenuhnya.

“Setiap ajaran punya ciri dan cara masing-masing. Cara dan ciri di Cireundeu ketika tutup tahun 1 Sura Saka Sunda 1959, tuntunannya seperti ini. Akur, rukun, repeh, rapih kita tumpahkan di sini, lewat tradisi ini,” kata Ais Pangampih Kampung Adat Cireundeu, Abah Widi saat ditemui, Sabtu (12/7/2025).

Dalam konsep kasundaan, pergantian tahun baru masehi maupun Islam yang lazim dirayakan oleh orang-orang dikenal sebagai Tutup Taun Ngemban Taun. Tak sekadar perayaan, lebih dalam dari itu, ada resolusi yang juga dianggap utang di tahun-tahun mendatang.

“Dalam konsep urang atau orang Sunda itu namanya Tutup Taun Ngemban Taun. Tutup tahun itu untuk tahun yang sudah terlewat, lalu Ngemban Taun atau mempersilakan tahun yang baru untuk datang,” kata Abah Widi.

“Kalau kata orang Sunda itu ‘lampah katukang naon anu tos dipigawe taun anu katukang’. Artinya kan ada kekurangan di tahun-tahun lalu, seperti menjaga alamnya, tradisi, ritualnya, silih asahnya, silih asuhnya, repeh rapihnya, itu belum semua dikerjakan. Manusia tidak sempurna, nah harapannya di tahun-tahun mendatang itu harus dikerjakan,” imbuhnya.

Ritual Tutup Taun Ngemban Taun Saka Sunda juga menjadi gambaran kerukunan para penghayat kepercayaan yang bermukim di Kampung Adat Cireundeu dengan para penganut agama dan kepercayaan lainnya.

“Kita menjaga tradisi ini bukan cuma ritualnya saja, bukan cuma buat kami orang Cireundeu. Tapi juga ada keakuran di sini, akur antara kami di Cireundeu dengan masyarakat agama apapun, suku apapun. Di sini hadir dari Hindu, Budha, Kristen, Islam, semua hadir. Orang Jawa, orang Batak, juga ada di sini. Semua berbaur,” tutur Abah Widi.

Cireundeu juga mengajarkan banyak hal buat masyarakat, melalui cara-cara yang paling sederhana dalam keseharian. Misalnya orang Cireundeu tak ketergantungan pada nasi, namun sudah menerapkan diversifikasi.

“Cireundeu ingin mengajarkan banyak hal tanpa bermaksud menggurui, kita tidak ketergantungan dengan nasi, tapi sudah makan singkong sejak lama. Orang yang hadir kesini, kita suguhkan singkong supaya mereka juga terbiasa. Nantinya tidak ketergantungan dengan nasi. Itu juga salah satu ajaran yang kita ingin sampaikan di tahun baru ini,” tutur Abah Widi.

Sementara itu, Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudisthira mengatakan kalau ritual tahunan Tutup Taun Ngemban Taun Saka inu menjadi oase di tengah keterbatasan wilayah dan tradisi.

“Ini ritual yang rutin diselenggarakan, ini aset daerah, dan warisan leluhur buat Cimahi. Di tengah keterbatasan wilayah, kita punya warisan yang tidak semua daerah punya. Kita harus mempertahankan nilai kebudayaan, nilai luhur, dan tradisi buat kita,” kata Adhitia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *