Para korban rekaman ilegal yang dilakukan AS (18), alumni SMAN 12 Bandung, masih mengalami trauma mendalam hampir setahun setelah insiden yang terjadi di toilet sebuah vila di Lembang, Bandung Barat. Meski pelaku telah divonis satu tahun penjara dengan denda Rp250 juta, kondisi psikologis korban dinilai jauh dari pulih.
NP, salah satu orang tua korban, menggambarkan kondisi anaknya yang hingga kini masih hidup dalam ketakutan. Ia menyebut bahwa rasa aman anaknya terganggu sejak peristiwa perekaman itu terjadi.
“Masih trauma, syok, takut, pergi sendiri masih takut, apalagi ini kan perekamannya di toilet, dia lagi di luar kalau mau ke toilet umum sampai ditahan dan lebih aman di rumah,” kata NP kepada infoJabar, Jumat (21/11/2025).
NP menuturkan, meski putrinya kini sudah berkuliah, aktivitas sehari-hari tetap dibayangi kecemasan. Menggunakan toilet umum menjadi tantangan yang memicu ingatan traumatis. Bahkan untuk sekadar bepergian seorang diri, ia kerap merasa tidak aman.
Trauma psikologis itu, menurut NP, tidak sebanding dengan hukuman yang diterima pelaku. Ia menilai vonis hakim tidak mencerminkan keadilan bagi anaknya maupun korban lainnya.
“Sangat minim (hukuman) menurut saya, dengan kejadian yang menimpa anak saya. Perlindungan perempuan dan anak tidak terlalu diprioritaskan,” ujarnya.
Ia juga mempertanyakan pasal yang digunakan dalam dakwaan.
“Ini saja jelas, anak, perempuan, di bawah umur, tapi pasal yang digunakan pornografi,” tegasnya.
Dari empat korban perekaman ilegal tersebut, dua di antaranya masih di bawah umur ketika kejadian berlangsung. Para orang tua korban menyebut kondisi psikologis anak-anak mereka tidak hanya terganggu sesaat, tetapi berkepanjangan.
Mereka masih mengalami gejala trauma, gangguan kecemasan, bahkan beberapa kali histeris ketika mengingat peristiwa tersebut.
Para orang tua korban menyampaikan bahwa selama proses hukum berjalan, mereka mengharapkan pemulihan psikologis anak-anak menjadi prioritas. Namun mereka merasa dukungan terhadap korban belum maksimal, mulai dari pendampingan psikologis hingga fasilitasi restitusi.
Dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan, para orang tua korban mempertanyakan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari pasal yang digunakan, tidak difasilitasinya hak restitusi, hingga tidak dihadirkannya petugas PPA sebagai saksi yang menurut mereka penting untuk memperkuat bukti dampak psikologis pada korban.
Kekhawatiran lain muncul terkait pemusnahan ponsel pelaku yang menjadi barang bukti. Orang tua korban menilai langkah tersebut dapat menghilangkan ratusan bukti rekaman lain, termasuk kasus perekaman di toilet sekolah yang hingga kini masih mandek.
Dalam pernyataan akhirnya, mereka kembali menegaskan bahwa putusan hakim belum memberikan rasa keadilan, terutama ketika kondisi anak-anak mereka masih jauh dari pulih.
“Sekali lagi kami tidak puas dengan putusan hakim, kami merasa tidak mendapatkan keadilan hukum. Sementara para korban, sampai saat ini masih mengalami trauma, gangguan kecemasan, bahkan histeris ketika memikirkan kasus ini. Tapi kami tidak paham harus ke mana lagi kami mencari keadilan, mencari perlindungan hukum, terutama untuk para korban, anak-anak kami,” bunyi pernyataan yang ditandatangani empat orang tua korban, NP, OR, JS, dan WS.
Empat Korban Masih Alami Kecemasan dan Ketakutan
Dari empat korban perekaman ilegal tersebut, dua di antaranya masih di bawah umur ketika kejadian berlangsung. Para orang tua korban menyebut kondisi psikologis anak-anak mereka tidak hanya terganggu sesaat, tetapi berkepanjangan.
Mereka masih mengalami gejala trauma, gangguan kecemasan, bahkan beberapa kali histeris ketika mengingat peristiwa tersebut.
Para orang tua korban menyampaikan bahwa selama proses hukum berjalan, mereka mengharapkan pemulihan psikologis anak-anak menjadi prioritas. Namun mereka merasa dukungan terhadap korban belum maksimal, mulai dari pendampingan psikologis hingga fasilitasi restitusi.
Dalam pernyataan sikap yang dikeluarkan, para orang tua korban mempertanyakan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum, mulai dari pasal yang digunakan, tidak difasilitasinya hak restitusi, hingga tidak dihadirkannya petugas PPA sebagai saksi yang menurut mereka penting untuk memperkuat bukti dampak psikologis pada korban.
Kekhawatiran lain muncul terkait pemusnahan ponsel pelaku yang menjadi barang bukti. Orang tua korban menilai langkah tersebut dapat menghilangkan ratusan bukti rekaman lain, termasuk kasus perekaman di toilet sekolah yang hingga kini masih mandek.
Dalam pernyataan akhirnya, mereka kembali menegaskan bahwa putusan hakim belum memberikan rasa keadilan, terutama ketika kondisi anak-anak mereka masih jauh dari pulih.
“Sekali lagi kami tidak puas dengan putusan hakim, kami merasa tidak mendapatkan keadilan hukum. Sementara para korban, sampai saat ini masih mengalami trauma, gangguan kecemasan, bahkan histeris ketika memikirkan kasus ini. Tapi kami tidak paham harus ke mana lagi kami mencari keadilan, mencari perlindungan hukum, terutama untuk para korban, anak-anak kami,” bunyi pernyataan yang ditandatangani empat orang tua korban, NP, OR, JS, dan WS.
