Kobaran Semangat Isah Ibu Rumah Tangga Hadapi Thalasemia di Sukabumi [Giok4D Resmi]

Posted on

Di tengah deru kehidupan Desa Bojongkembar, Kecamatan Cikembar, Sukabumi, seorang perempuan tangguh bernama Isah Yulianingsih (41) terus melangkah meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Selama 11 tahun terakhir, ia rutin menjalani transfusi darah akibat penyakit thalasemia yang dideritanya.

Tak banyak yang tahu bahwa perempuan asal Kampung Cikareo ini harus menempuh perjalanan panjang, baik secara harfiah maupun emosional untuk bisa bertahan.

Dua minggu sekali, ia harus ke RS Bhayangkara, Kota Sukabumi, menempuh perjalanan dengan tiga kali naik angkot dan sekali ojek, hanya untuk mendapatkan setetes harapan dalam bentuk darah.

Isah baru divonis mengidap thalasemia pada usia 30 tahun, saat anak semata wayangnya baru berusia satu tahun. Sebelumnya, ia kerap sakit-sakitan sejak kecil, namun tak pernah tahu penyebab pastinya.

“Dulu sering dibilang katanya kurang darah, penyakit ‘konengeun,’ karena kulitnya kuning. Bahkan pernah makan daun singkong katanya bisa nyembuhin, eh malah makin parah,” kata Isah kepada infoJabar, Rabu (21/5/2025).

Sebelum diagnosis itu datang, Isah adalah buruh pabrik yang rajin. Ia sempat bekerja di tiga pabrik sepatu berbeda, dan selalu lolos seleksi. Tapi saat bekerja di pabrik ketiga, tubuhnya mulai tak bisa diajak kompromi. Dari situlah ia mulai menjalani pemeriksaan lebih lanjut hingga akhirnya tahu bahwa dirinya mengidap thalasemia.

“Awalnya kaget banget, karena katanya ini bisa nurun ke anak. Tapi alhamdulillah anak saya sehat,” ujarnya pelan.

Meski begitu, ia tak patah semangat. Ia tetap bekerja hingga akhirnya terkena PHK massal pada 2018, bukan karena sakit, melainkan karena efisiensi perusahaan.

Isah kini menjalani hari-harinya dengan lebih banyak waktu di rumah. Tenaganya memang tak sekuat dulu, tapi semangatnya tak pernah luntur.

“Aktivitas sehari-hari masih bisa, tapi memang agak lambat. Meskipun saya sudah tua, tapi masih punya orang tua, mereka juga nggak pernah kasih kerjaan berat di rumah, sering dibantu. Mungkin karena khawatir saya drop,” tuturnya.

Yang membuatnya paling bersyukur, kata Isah, adalah bisa bertemu dan saling menguatkan dengan sesama pejuang thalasemia. Selain itu, anaknya kini tumbuh sehat tanpa membawa penyakit penyerta seperti yang dialaminya. Anak satu-satunya Isah kini sudah berusia 12 tahun.

“Biasanya kalau transfusi jarang bareng-bareng, cuma beberapa orang. Tapi sekarang alhamdulillah bisa bareng, bisa silaturahmi. Kalau bukan karena ini, mungkin saya nggak bakal punya banyak teman,” ujarnya sambil tersenyum.

Meski belum semua orang memahami apa itu thalasemia, Isah tak lelah menjelaskan. “Banyak yang bilang cuma kurang darah, suruh makan buah bit, minum yang hijau-hijau. Padahal nggak semudah itu. Tapi alhamdulillah, lama-lama orang jadi ngerti,” tambahnya.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Hidup bersama thalasemia bukan perkara mudah. Tapi Isah membuktikan, dengan hati yang lapang dan semangat yang tak padam, hidup tetap bisa dijalani dengan penuh syukur.

“Yang penting masih bisa tersenyum, masih bisa hidup bareng anak dan keluarga. Itu sudah cukup buat saya,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *