Kematian pada umumnya jadi hal yang ditakuti banyak orang. Kematian jadi mimpi buruk yang tak ingin dirasakan.
Namun bagi wanita muda ini, kematian justru dijemputnya. Bukan karena dipaksa orang lain, tapi dengan kesadaran penuh.
Sebab, kematian itu diharapkan mengakhiri penderitaan panjangnya. Kini, wanita itu pun kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
Dikutip dari siliconartists, kisah itu dialami wanita asal Australia bernama Annaliese Holland yang selama ini mengalami sakit kronis. Ia dengan penuh kesadaran menjalani medical aid in dying (MAID), ‘obat kematian’, sebuah tindakan legal bagi pasien dengan penyakit serius di Australia.
Bukan tanpa sebab, sakit yang dialaminya benar-benar sudah membuatnya menderita. Ia tumbuh besar di rumah sakit karena penyakitnya yang misterius.
Intinya, Annaliese memiliki gangguan dengan berbagai gejala berat, mulai dari nyeri kronis setiap hari, mual, muntah yang terus-menerus, hingga ketergantungan total asupan nutrisi melalui infus selama 10 tahun terakhir.
“Usus saya bertindak seolah-olah tersumbat padahal sebenarnya tidak ada yang menyumbat. Sarafnya tidak berfungsi, jadi feses saya menumpuk begitu banyak hingga saya memuntahkannya atau mengeluarkannya lewat perut,” ungkapnya kepada News AU.
Setelah menghabiskan masa remaja di fasilitas anak-anak, barulah di usia 18 Annaliese mendapatkan jawaban. Ternyata ia mengidap autoimmune autonomic ganglionopathy, penyakit langka yang merusak saraf otonom yang mengatur detak jantung, tekanan darah, pencernaan, dan fungsi kandung kemih. Di usia 22 tahun, dokter menyampaikan bahwa kondisinya bersifat terminal.
Sejak itu, tubuh Annaliese perlahan mengalami kerusakan. Ia mengalami kegagalan multi-organ, pernah mengalami sepsis 25 kali, dan obat-obatan kuat yang ia konsumsi membuatnya menderita osteoporosis parah. Bahkan tulang punggungnya patah di empat titik, tulang dadanya retak, dan organ vitalnya nyaris tergencet. Steroid yang dikonsumsi bertahun-tahun juga menyebabkan nekrosis tulang, membuat giginya menghitam dan rontok.
“Saya sangat menderita. Tidak ada yang bisa diubah, jadi ya harus dijalani. Walaupun ada momen indah, hari-hari saya panjang dan melelahkan. Saya dalam sakit kronis yang melemahkan,” akunya.
Menurutnya, hidupnya kini hanyalah rutinitas bertahan hidup dan menunggu hari berakhir. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam kondisi kronis, Annaliese akhirnya mengatakan kepada keluarganya bahwa ia ingin ‘mati dengan caranya sendiri’ melalui program Voluntary Assisted Dying (VAD). Puncak dari keputusannya datang ketika ia bercermin di rumah sakit dan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
“Itu bukan saya, dan saya sangat lelah,” ucapnya.
Keputusan Annaliese terasa menghancurkan bagi orangtuanya. Ibunya, Armanda, terus berharap ada keajaiban, meski ia memahami kondisi anaknya. Sang ayah, Patrick, mengaku sulit menerima keputusan tersebut karena ia selalu melihat Annaliese sebagai sosok pejuang.
“Setiap kali dia masuk rumah sakit, dia berjuang untuk hidupnya. Melihatnya berkali-kali berada di ambang kematian, tapi dia luar biasa,” kata Patrick.
Setelah menjalani penilaian psikologis dan proses persetujuan selama tiga minggu, Annaliese akhirnya disetujui untuk VAD. Ia menggambarkan persetujuan itu sebagai beban besar yang terangkat dari bahunya.
“Aneh rasanya merasa bahagia, tapi saya sangat bahagia saat tahu saya disetujui. Saya menangis,” akunya.
Yang membuatnya lega adalah kenyataan bahwa ia tidak lagi harus bangun setiap hari dengan rasa takut akan sakit yang menantinya. Ia menegaskan bahwa memilih VAD bukan berarti menyerah.
“Ini salah satu hal paling berani yang bisa dilakukan seseorang. Mengatakan bahwa aku ingin VAD bukan berarti aku menyerah. Aku sudah cukup, dan aku sudah berjuang sekuat yang aku bisa,” ungkap Annaliese.
Artikel ini telah tayang di siliconartists
Diagnosa Autoimun
Ingin Mati dengan Caranya Sendiri
Menurutnya, hidupnya kini hanyalah rutinitas bertahan hidup dan menunggu hari berakhir. Setelah bertahun-tahun bertahan dalam kondisi kronis, Annaliese akhirnya mengatakan kepada keluarganya bahwa ia ingin ‘mati dengan caranya sendiri’ melalui program Voluntary Assisted Dying (VAD). Puncak dari keputusannya datang ketika ia bercermin di rumah sakit dan tidak lagi mengenali dirinya sendiri.
“Itu bukan saya, dan saya sangat lelah,” ucapnya.
Keputusan Annaliese terasa menghancurkan bagi orangtuanya. Ibunya, Armanda, terus berharap ada keajaiban, meski ia memahami kondisi anaknya. Sang ayah, Patrick, mengaku sulit menerima keputusan tersebut karena ia selalu melihat Annaliese sebagai sosok pejuang.
“Setiap kali dia masuk rumah sakit, dia berjuang untuk hidupnya. Melihatnya berkali-kali berada di ambang kematian, tapi dia luar biasa,” kata Patrick.
Setelah menjalani penilaian psikologis dan proses persetujuan selama tiga minggu, Annaliese akhirnya disetujui untuk VAD. Ia menggambarkan persetujuan itu sebagai beban besar yang terangkat dari bahunya.
“Aneh rasanya merasa bahagia, tapi saya sangat bahagia saat tahu saya disetujui. Saya menangis,” akunya.
Yang membuatnya lega adalah kenyataan bahwa ia tidak lagi harus bangun setiap hari dengan rasa takut akan sakit yang menantinya. Ia menegaskan bahwa memilih VAD bukan berarti menyerah.
“Ini salah satu hal paling berani yang bisa dilakukan seseorang. Mengatakan bahwa aku ingin VAD bukan berarti aku menyerah. Aku sudah cukup, dan aku sudah berjuang sekuat yang aku bisa,” ungkap Annaliese.
Artikel ini telah tayang di siliconartists
