Kembali Bertaruh Nyawa, Guru Leni Seberangi Sungai Usai Jembatan Putus

Posted on

Kerudung biru itu tampak mencolok di tengah derasnya arus Sungai Cikaso yang bergemuruh. Terselip kisah Bu Guru Leni Sumarni (41), sosok sederhana dengan beban besar di rahim dan pundaknya, perlahan menuruni tebing kecil yang licin.

Setiap langkahnya mengandung perjuangan tak hanya sekadar menjaga keseimbangan, mengangkat rok panjangnya dari sergapan arus, dan menahan rasa sakit yang menggerayangi tubuhnya yang tengah hamil enam bulan.

Tidak ada jembatan, tak ada tali pengaman hanya keyakinan dan cinta untuk anak-anak yang menantinya di seberang sungai. Di tengah gemuruh air dan desir angin, perjuangan seorang guru terpahat dalam diam.

Leni Sumarni, guru SDN Cibadak, Desa Neglasari, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi kini setiap hari harus menantang arus di tengah kondisinya yang tengah mengandung.

Setahun lalu, kisah perjuangan Leni meniti jembatan besi yang miring dan nyaris ambruk viral di media sosial. Kini, kisah itu berulang. Jembatan yang sempat dibangun oleh relawan dan dermawan kembali putus setelah sungai meluap.

“Barusan juga saya dibetulin perut agak sakit ke bawah, kaki juga agak bengkak menahan arus air,” kata Leni, suara lirihnya nyaris tenggelam dalam gemuruh sungai, Jumat (25/4/2025).

“Jembatannya enggak ada, hanyut,” jawabnya pendek saat ditanya soal jembatan yang dulu sempat dibangun penuh harapan.

Pilihan Leni untuk tetap mengajar kini kian berat. Jalur alternatif sejatinya tersedia, namun medan yang harus dilalui membuatnya berpikir dua kali.

“Saya langsung turun ke sungai, karena kalau kita putar arah melalui jalan alternatif butuh waktu dua jam. Saya tetap berangkat selama masih bisa, selagi masih sehat bisa berjalan saya tetap berangkat kecuali kondisi fisik dan tubuh saya betul-betul drop,” ujarnya.

Segala risiko telah diperhitungkan oleh Leni. Ia sadar, tubuhnya yang tengah mengandung harus menghadapi tantangan yang tak ringan.

“Segala resiko sudah saya perhitungkan, apapun yang akan terjadi, demi anak didik saya yang menunggu di sekolah, kedua kewajiban saya sebagai guru mengajar di daerah terpencil,” tutur Leni, suaranya tercekat menahan tangis saat menyebut murid-muridnya.

Harapannya sederhana. Ia ingin pemerintah merealisasikan jembatan permanen yang sempat dijanjikan pada November 2024 lalu.

“Harapan saya, jembatan permanen bisa direalisasikan, sebagaimana yang pernah diberitahukan kepada kami, tahun 2024 November dan seandainya itu tidak direalisasi minimal ada jembatan untuk saya dan anak-anak menyebrang walau itu bersifat sementara, dan itu saya mohon kepada pemerintah untuk memperhatikan kami yang melewati sungai ini,” pintanya.

Tak hanya mengajar di sekolah dasar, Leni juga membimbing anak-anak mengaji di madrasah. Namun, hujan deras sering memaksa kegiatan itu dihentikan.

“Siswa madrasah hujan deras atau meluap saya liburkan, tetapi kalau airnya memungkinkan saya minta diantar jemput orang tuanya,” katanya.

Risiko lain selalu mengintai. Bila pagi air surut dan memungkinkan menyeberang, sore saat hendak pulang bisa berbeda.

“Selama melihat keadaan air, kalau air ternyata meluap dan tidak bisa dilintasi saya minta tolong orang rumah untuk melalui jalan lain yang memang jauh dan muter. Perjalanan alternatif memakan waktu lebih jauh, jalan tebing, hujan pasti dorong muter, licin dan khawatir kena longsor, kalau sekali longsor kerap menutup jalan bahkan beberapa kali dibetulin longsor lagi-longsor lagi,” kata Leni.

Di tengah arus sungai yang tak bersahabat, semangat Leni tetap mengalir, menghidupi mimpi-mimpi kecil anak-anak di sekolah dan madrasahnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *