Kata Pengamat Pendidikan soal Jual-Beli Kursi SMP di Bandung

Posted on

Pemerhati kebijakan pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Cecep Darmawan angkat bicara soal dugaan praktik jual-beli kursi di empat SMP di Kota Bandung dalam proses Seleksi Penerimaan Siswa Baru (SPMB). Ia mengatakan, hal tersebut adalah kejadian berulang setiap tahun yang belum ditindak serius.

“Masalah penyelewengan aturan ini di setiap penerimaan siswa baru selalu menyertai. Akan selalu ada selama aturan tidak dijalankan secara tegas,” ungkap Cecep ketika dihubungi, Kamis (12/6/2025).

Ia menilai, meskipun sistem penerimaan siswa baru tiap tahunnya dimutakhirkan, namun kecurangan akan selalu muncul bila tidak ada upaya pembenahan integritas dari setiap insan yang terlibat proses seleksi tersebut. Termasuk dari pihak penegak aturan.

“Sebaik apapun aturannya, tapi ujung-ujungnya tergantung dari pelaksana aturan tersebut. Jadi yang harus ditingkatkan adalah integritas dan profesionalisme penegak aturannya,” tuturnya.

Selain itu, ia juga menyoroti akar munculnya pasar permintaan kursi-kursi di sekolah negeri melalui jalur terlarang tersebut. Salah satunya adalah tidak meratanya kualitas sekolah negeri, sehingga favoritisme sekolah-sekolah tertentu masih melekat di benak masyarakat.

Alhasil, akan ada orang tua-orang tua siswa yang menghalakan segala cara demi memasukkan anak mereka ke sekolah negeri yang dianggap favorit tersebut dengan membayar nominal uang tak sedikit.

“Mereka itu bukan cari murahnya, bukan mau masuk negeri karena murah. Tapi mereka cari yang unggulnya. Sekolah-sekolah negeri yang dianggap biasa saja tidak akan dicari. Sasarannya adalah sekolah negeri unggulan,” paparnya.

Padahal, salah satu tujuan diterapkannya aturan zonasi (sekarang domisili) adalah untuk mengikis anggapan-anggapan sekolah unggulan. Masyarakat diminta untuk bisa menyekolahan anaknya di sekolah negeri terdekat karena sekolah negeri dinilai memiliki standar yang sama.

“Tapi pada praktik di lapangan kenyatannya masih ada sekolah-sekolah negeri yang jadi favorit. Kenapa ada, karena pemerintah relatif lamban dalam melaksanakan standarisasi yang sama antar sekolah negeri,” jelasnya.

Ia mengatakan, saat ini, standar kualitas sekolah negeri di Kota Bandung dari sisi infrastruktur bangunan dan kelengkapan fasiltas belum merata. Sehingga, kecenderungan orang tua siswa untuk mencari sekolah dengan fasilitas terbaik, meskipun menyalahi aturan, akan selalu ada.

“Dari luas tanah, luas bangunan, bagus atau tidaknya bangunan, kelengkapan fasilitas, semua seharusnya saama. Selama itu tidak dibenahi, predikat sekolah-sekolah unggulan akan selalu ada,” tuturnya.

Terkait kualitas guru, ia mengatakan hal tersebut relatif lebih mudah dibuat merata karena sudah ada standarisasi profesi tersendiri. Upaya untuk melakukan rotasi guru antar sekolah bisa menjadi opsi. Hal yang jadi mendesak, ia mengatakan, adalah pemerataan fasilitas sekolah.

“Guru sudah ada sertifikasi ya, guru bisa dirotasi ke sekolah-sekolah negeri lain. Yang harus jadi standar adalah gedung sekolah dan fasilitas lainnya, kedua adalah standar pembiayaannya. Kalau semua gedung sekolah di Kota Bandung kualitasnya sama, pembiayaannya sama, orang tidak akan cari-cari sekolah yang jauh dan tidak sesuai aturan,” ungkapnya.

“Untuk menghapus pandangan adanya sekolah-sekolah favorit itu tidak mudah, harus ada kerja keras dari pemerintah,” lanjutnya.

Untuk mewujudkan fasilitas sekolah negeri yang merata, Cecep menyebut pemerintah harus lebih kreatif dalam mencari alternatif pendanaan. Pasalnya, hanya mengandalkan APBD dinilai tak akan memadai.

“Kalau ternyata masalahnya dari anggaran, pemerintah harus cari sumber dana yang kreatif, itu tugas pemerintah. Misalnya dari CSR, atau dana-dana lain. Jangan hanya andalkan APBD,” tutupnya.