Selain mengikuti perkembangan zaman, masyarakat di Jawa Barat sebagiannya masih memegang nilai-nilai yang diajarkan leluhur, tak kecuali terkait dengan cara-cara menjaga keseimbangan alam.
Hutan dibiarkan lestari, karena dengan itu suplai air dan udara bersih terpenuhi, juga tidak memicu terjadinya bencana alam seperti banjir. Nilai yang menjaga kelestarian hutan di antaranya terpancar dari konsep Hutan Larangan.
Keberadaan hutan larangan menyimpan banyak mitos yang jika dilanggar larangannya, tentu akan pamali dan mendatangkan celaka bagi pelanggarnya, maupun bagi orang lain. Contoh konkret, ketika hutan rusak, ‘celaka’ itu datang berupa bencana alam.
Namun, ada juga celaka instan ketika melanggar pamali. Misalnya, orang yang memasuki hutan larangan di luar izin, atau di luar hari yang dibolehkan oleh adat, biasanya akan tersesat di hutan itu hingga beberapa hari.
Hutan larangan tidaklah ditentukan oleh luas dan lokasinya, melainkan konsepsi hukum adat atas hutan itu. Hutan larangan memang masih berlaku di masyarakat-masyarakat adat, tak kecuali pada masyarakat ada yang ada di Jawa Barat.
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, melalui akun facebook resminya mengungkapkan apa itu Hutan Larangan. Menurut dinas itu, hutan larangan merupakan area yang tidak boleh sembarangan orang memasukinya.
“Hutan ini digolongkan bukan berdasarkan ‘vegetasi’ atau bentang alam maupun secara ‘geografis’, tetapi berdasarkan ‘nilai sakral’ yang diyakini oleh masyarakat setempat,” tulis dinas itu pada unggahan 17 September 2020.
Untuk siapapun yang melanggar, hutan larangan selalu menyediakan balasan yang kontan. Misalnya, bagi mereka yang berkata-kata kotor di dalam hutan larangan itu, atau bagi yang mengambil sesuatupun dari sana.
Meski ada di lingkungan adat, hutan larangan berbeda dengan hutan adat dalam segi kesakralannya. Hutan larangan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan alasan sangat mendesak dan direstui adat. Sementara hutan adat ‘masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat adat untuk huma atau diambil kayunya’.
Hutan Larangan berkembang dalam konsep hidup masyarakat adat. Mereka membuat wilayah-wilayah tertentu di hutan sebagai bagian yang sakral dan harus dihormati.
Undang-undang di Indonesia melindungi apa yang menjadi konsep adat. Hal itu tertuang dalam Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Bunyi pasal itu:
“Negara menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pemerintah RI punya hukum yang mencegah kerusakan hutan dikarenakan terjadinya pembalakan liar. Telah ada Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Tetapi, terkadang pencegahan kerusakan hutan tidak bisa didekati dengan hukum positif saja, melainkan perlu sisi lain, seperti sanksi sosial.
Dalam hal ini, Hutan Larangan punya fungsi sosial untuk mencegah hutan dari kerusakan. Sebab, keberadaan hutan larangan pada dasarnya berpegang pada hukum keyakinan akan nilai-nilai sakral yang dimiliki oleh masyarakat di sekitarnya.
Mereka yang melanggar ‘pamali’ akan mendapatkan sanksi yang kontan dari ‘alam gaib’ dan mendapatkan sanksi sosial yang langsung berupa misalnya denda adat. Hal ini akan membuat larangan merusak hutan menjadi lebih efisien.
Di Jawa Barat, salah satu masyarakat adat yang punya kepercayaan terhadap adanya teritori Hutan Larangan adalah masyarakat di Kampung Adat Cikondang. Yakni, kampung adat di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Di sini, meski masyarakat telah bersentuhan dengan kehidupan modern di sekitarnya, namun masih memegang teguh nilai-nilai leluhur yang telah bertahan selama berabad-abad.
Dinukil dari NU Online dalam unggahan 23 Desember 2021, yang mengutip penelitian Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ), disebutkan Kampung Adat Cikondang memiliki hutan larangan, yang oleh masyarakat setempat dipercaya sering dipakai tempat pertemuan para waliyullah. Para wali di sana melakukan pengajian, diskusi, dan kegiatan lainnya.
“Peneliti membeberkan, isi hutan larangan hanya boleh diambil untuk kepentingan Bumi Adat, misalnya dalam penggunaan kayu dipakai saat kayu tersebut benar-benar tidak bisa dipertahankan lagi pertumbuhannya karena sudah terlalu lama umurnya, dan secara kebetulan rumah adat memerlukan bahan untuk dilakukan rehab,” tulis situs itu.
Di dalam hutan larangan itu, ada makam keramat yang wilayah itu dikelilingi pagar bambu. Pada pagar itu, ada pintu untuk masuk. Namun, tidak sembarangan orang bisa masuk, kecuali pada hari-hari yang diperbolehkan oleh adat.
“Untuk masuk ke hutan larangan diberi pintu supaya tidak sembarang orang masuk, tidak boleh mengambil gambar tanpa seizin kuncen dan waktunya untuk masuk hutan larangan dibatasi pada waktu tertentu yaitu Ahad, Senin, Rabu, dan Kamis. Beberapa larangan dan pantangan yang diberlakukan untuk memasuki hutan larangan,” tulisnya.
Banyak kampung adat di Jawa Barat yang memiliki hutan larangan. Selain di Kampung Adat Cikondang, Kabupaten Bandung, ada pula di daerah lain, misalnya Hutan Larangan Nagarapageuh di Kabupaten Ciamis, atau Hutan Larangan di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, dan banyak lagi.
Konsep Hutan Larangan
Hukum di Indonesia Tentang Hutan Larangan
Fungsi Sosial Hutan Larangan
Hutan Larangan di Kampung Adat Cikondang
Hutan Larangan di Jawa Barat
Pemerintah RI punya hukum yang mencegah kerusakan hutan dikarenakan terjadinya pembalakan liar. Telah ada Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Tetapi, terkadang pencegahan kerusakan hutan tidak bisa didekati dengan hukum positif saja, melainkan perlu sisi lain, seperti sanksi sosial.
Dalam hal ini, Hutan Larangan punya fungsi sosial untuk mencegah hutan dari kerusakan. Sebab, keberadaan hutan larangan pada dasarnya berpegang pada hukum keyakinan akan nilai-nilai sakral yang dimiliki oleh masyarakat di sekitarnya.
Mereka yang melanggar ‘pamali’ akan mendapatkan sanksi yang kontan dari ‘alam gaib’ dan mendapatkan sanksi sosial yang langsung berupa misalnya denda adat. Hal ini akan membuat larangan merusak hutan menjadi lebih efisien.
Di Jawa Barat, salah satu masyarakat adat yang punya kepercayaan terhadap adanya teritori Hutan Larangan adalah masyarakat di Kampung Adat Cikondang. Yakni, kampung adat di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
Di sini, meski masyarakat telah bersentuhan dengan kehidupan modern di sekitarnya, namun masih memegang teguh nilai-nilai leluhur yang telah bertahan selama berabad-abad.
Dinukil dari NU Online dalam unggahan 23 Desember 2021, yang mengutip penelitian Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ), disebutkan Kampung Adat Cikondang memiliki hutan larangan, yang oleh masyarakat setempat dipercaya sering dipakai tempat pertemuan para waliyullah. Para wali di sana melakukan pengajian, diskusi, dan kegiatan lainnya.
“Peneliti membeberkan, isi hutan larangan hanya boleh diambil untuk kepentingan Bumi Adat, misalnya dalam penggunaan kayu dipakai saat kayu tersebut benar-benar tidak bisa dipertahankan lagi pertumbuhannya karena sudah terlalu lama umurnya, dan secara kebetulan rumah adat memerlukan bahan untuk dilakukan rehab,” tulis situs itu.
Di dalam hutan larangan itu, ada makam keramat yang wilayah itu dikelilingi pagar bambu. Pada pagar itu, ada pintu untuk masuk. Namun, tidak sembarangan orang bisa masuk, kecuali pada hari-hari yang diperbolehkan oleh adat.
“Untuk masuk ke hutan larangan diberi pintu supaya tidak sembarang orang masuk, tidak boleh mengambil gambar tanpa seizin kuncen dan waktunya untuk masuk hutan larangan dibatasi pada waktu tertentu yaitu Ahad, Senin, Rabu, dan Kamis. Beberapa larangan dan pantangan yang diberlakukan untuk memasuki hutan larangan,” tulisnya.
Banyak kampung adat di Jawa Barat yang memiliki hutan larangan. Selain di Kampung Adat Cikondang, Kabupaten Bandung, ada pula di daerah lain, misalnya Hutan Larangan Nagarapageuh di Kabupaten Ciamis, atau Hutan Larangan di Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya, dan banyak lagi.
