Subuh itu, Kamis 20 Juni 2019, pabrik Teh Goalpara yang berada di kawasan Kebun Goalpara, Sukabumi, berubah menjadi kobaran api. Sekitar pukul 04.00 WIB, si jago merah muncul dari bagian pengeringan lantai satu. Api merambat cepat ke lantai dua, lantaran sebagian besar bangunan tua itu terbuat dari kayu.
Wawan Purnawarman selaku Administrator PTPN VIII Goalpara saat itu, peristiwa kebakaran diketahui ketika ia tengah akan melaksanakan salat Subuh sekaligus akan mengecek pabrik. Tak disangka api muncul di bagian dalam pabrik.
“Saya mau salat subuh kontrol ke pabrik melihat ke ruang pengeringan nah kelihatannya titik api berasal dari situ dari korsleting listrik yang menyambar ke kayu bakar. Saat itu saya dengan kepala pabrik, berusaha memadamkan api,” kata Wawan kepada infocom pada 2019 lalu.
Upaya pemadaman dengan alat ringan tidak membuahkan hasil. Tiga unit damkar dari Cisaat, Cibadak, dan Sukaraja akhirnya dikerahkan. Api baru bisa dijinakkan sekitar pukul 06.30 WIB.
“Tidak ada korban jiwa. Mesin pengolahan sebagian besar masih aman,” kata Wawan. Meski begitu, kerugian material ditaksir belasan juta rupiah.
Namun, lebih dari sekadar kebakaran, insiden itu seolah membuka kembali lembaran-lembaran tua sejarah yang nyaris dilupakan. Sejarah panjang Goalpara sebagai salah satu saksi kolonialisme dan perlawanan bersenjata di tanah Priangan.
Nama Goalpara ternyata bukan sekadar sebutan lokal. Menurut Irman Firmansyah, penulis buku Soekaboemi: The Untold Story, nama itu berasal dari sebuah distrik di India penghasil teh Assam. Dulu, ketika pemerintah kolonial memperkenalkan teh sebagai komoditas di Hindia Belanda, banyak nama kebun dan pabrik mengadopsi istilah asing.
“Goalpara di Sukabumi itu jejak langsung dari kolonialisme teh. Nama asing, sistem asing, tapi beroperasi di atas tanah kita,” ujar Irman, Minggu (27/7/2025).
Catatan sejarah menunjukkan, Perkebunan Perbawati dibuka pada 6 Februari 1886. Enam tahun kemudian, Cultuur Maatschappij Goalpara menerbitkan prospektus 400 saham seharga 500 Gulden per lembar. Mesin mulai berdengung pada 1908, saat pabrik pengolahan resmi beroperasi. Goalpara lalu tumbuh jadi bagian dari trio besar perkebunan bersama Perbawati dan Gedeh.
Goalpara bukan hanya pabrik pengolahan. Ia berkembang sebagai simbol kemajuan industri perkebunan Belanda di tanah Priangan. Pada 1930, Goalpara memasang sistem elektrifikasi hasil kerja sama dengan GEBEO. Mesin pengering otomatis, jaringan konduktor, dan skema distribusi dibuat sedemikian rupa untuk meningkatkan efisiensi.
“Tak hanya itu. Pada 1932, anggota Volksraad, Mohammad Husni Thamrin, bahkan mengusulkan Goalpara sebagai contoh bagaimana industri bisa dialihkan ke tangan pribumi jika diberi kesempatan dan fasilitas. Tapi cita-cita itu masih jauh dari kenyataan saat itu,” ujarnya.
Selepas proklamasi 1945, pabrik teh yang semula menjadi simbol kolonial, berubah fungsi. Pada 2 Oktober 1945, Goalpara diambil alih para pejuang kemerdekaan. Lokasinya yang berada di kaki Gunung Gede menjadikannya strategis sebagai markas gerilya.
Namun Belanda tak tinggal diam. Saat Agresi Militer I pada Juli 1947, mereka kembali menduduki wilayah Sukabumi termasuk Goalpara. Pasukan pejuang tetap menyerang dari hutan dan bukit. Laporan intelijen Belanda menyebutkan bahwa untuk memulihkan operasional pabrik, dibutuhkan biaya hingga 350.000 Gulden.
“Ada banyak korban di Goalpara. Di satu sisi aroma teh masih semerbak, di sisi lain darah tumpah di tanah perkebunan,” kata Irman.
“Bayangkan menyesap aroma daun teh, sambil tahu bahwa dulu di tempat itu peluru pernah bersarang di tubuh-tubuh anak bangsa,” sambungnya.
Serangan-serangan terhadap Goalpara tak berhenti. Pada 20 Juli 1948, Letnan Soetisna memimpin penyerbuan besar ke kompleks pabrik. Bentrok terjadi. Komandan keamanan Belanda, CD Luining, tewas. Soetisna pun gugur di tempat.
Sebulan kemudian, 23 Agustus 1948, gerilyawan kembali menyerang. Belanda memperketat keamanan. Tapi aksi bersenjata masih terjadi, termasuk pada 11 April 1949 ketika Schooleman, komandan penjaga, dibunuh bersama 16 anggotanya.
Pascapengakuan kedaulatan, Belanda sempat mendapat kembali hak hukum atas Goalpara. Bahkan Menteri Perekonomian Belanda Van den Brink mengunjungi pabrik pada Maret 1950. Namun gelombang nasionalisasi segera datang.
Akhir 1957 menjadi babak baru. Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No.86/1958, disusul PP No.19/1959, yang menasionalisasi seluruh aset milik Belanda, termasuk Goalpara. Sejak itu, pabrik dikelola negara dan masuk ke dalam tubuh BUMN Perkebunan yang terus berubah bentuk-hingga kini berada di bawah naungan PTPN VIII.
Pada 1982, Kebun Bungamelur digabungkan ke Kebun Goalpara. Konsolidasi ini memperluas areal dan menambah kapasitas produksi. Namun romantika kejayaan kolonial tak pernah kembali seperti masa Hindia Belanda.
Kebakaran 2019 menghanguskan sebagian memori fisik. Mesin-mesin tua yang masih tersisa menjadi saksi bisu dari kejayaan dan luka masa silam. Asap yang membumbung bukan sekadar pertanda kebakaran, ia seperti alarm sejarah yang membangunkan memori kolektif Sukabumi.
“Goalpara itu bukan hanya pabrik teh. Ia adalah cermin peradaban. Ketika kita melupakan sejarahnya, kita kehilangan jati diri,” tutup Irman Firmansyah.
Dari Assam ke Sukabumi: Awal Mula Goalpara
Masa Keemasan, Elektrifikasi, dan Strategi Dagang
Menyesap Aroma Perjuangan
Kekerasan dan Serangan Gerilya
Nasionalisasi dan Perubahan Kepemilikan
Serangan-serangan terhadap Goalpara tak berhenti. Pada 20 Juli 1948, Letnan Soetisna memimpin penyerbuan besar ke kompleks pabrik. Bentrok terjadi. Komandan keamanan Belanda, CD Luining, tewas. Soetisna pun gugur di tempat.
Sebulan kemudian, 23 Agustus 1948, gerilyawan kembali menyerang. Belanda memperketat keamanan. Tapi aksi bersenjata masih terjadi, termasuk pada 11 April 1949 ketika Schooleman, komandan penjaga, dibunuh bersama 16 anggotanya.
Pascapengakuan kedaulatan, Belanda sempat mendapat kembali hak hukum atas Goalpara. Bahkan Menteri Perekonomian Belanda Van den Brink mengunjungi pabrik pada Maret 1950. Namun gelombang nasionalisasi segera datang.
Akhir 1957 menjadi babak baru. Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-undang No.86/1958, disusul PP No.19/1959, yang menasionalisasi seluruh aset milik Belanda, termasuk Goalpara. Sejak itu, pabrik dikelola negara dan masuk ke dalam tubuh BUMN Perkebunan yang terus berubah bentuk-hingga kini berada di bawah naungan PTPN VIII.
Pada 1982, Kebun Bungamelur digabungkan ke Kebun Goalpara. Konsolidasi ini memperluas areal dan menambah kapasitas produksi. Namun romantika kejayaan kolonial tak pernah kembali seperti masa Hindia Belanda.
Kebakaran 2019 menghanguskan sebagian memori fisik. Mesin-mesin tua yang masih tersisa menjadi saksi bisu dari kejayaan dan luka masa silam. Asap yang membumbung bukan sekadar pertanda kebakaran, ia seperti alarm sejarah yang membangunkan memori kolektif Sukabumi.
“Goalpara itu bukan hanya pabrik teh. Ia adalah cermin peradaban. Ketika kita melupakan sejarahnya, kita kehilangan jati diri,” tutup Irman Firmansyah.