Dampak Tarif Impor AS Terhadap Pengrajin Rotan di Cirebon

Posted on

Di sebuah sudut kota Cirebon yang tenang, di antara aroma rotan yang baru dipotong dan suara gesekan alat-alat sederhana, ada keresahan yang tak kalah tajam dari bilah pisau pengrajin. Pasalnya, kini hidup dalam ketidakpastian akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat yang mengancam keberlangsungan mata pencaharian mereka.

Sejak awal tahun, angin dingin dari ketidakpastian ekonomi global semakin menusuk. Apalagi setelah pemerintah Amerika Serikat mengumumkan rencana pemberlakuan tarif impor sebesar 32 persen terhadap produk rotan dari Indonesia.

Bagi Kabupaten Cirebon, yang 70 persen produksi rotannya dikirim ke Negeri Paman Sam, kabar itu bukan sekadar angka melainkan potensi runtuhnya harapan ribuan keluarga.

Dono (38), salah satu buruh perajin rotan yang telah menekuni profesi ini sejak 2018, mengaku cemas. Bagi Dono, rotan bukan sekadar pekerjaan tapi juga jalan hidup.

“Memang saya ini cuma sebatas perajin rotan, tapi karena permintaan banyak dari Amerika, saya takut kehilangan mata pencaharian,” katanya lirih saat ditemui di bengkel kerajinan tempat ia bekerja.

Ayah dua anak ini mengaku, bahwa dari rotan ia bisa menyekolahkan anak-anaknya dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia bekerja delapan jam sehari, merangkai rotan menjadi produk-produk berkualitas ekspor.

“Saya selama ini hidup dari rotan, sampai bisa sekolahkan anak dan menghidupi keluarga saya,” ujarnya.

Namun, menjaga kualitas ekspor bukan pekerjaan mudah. Rotan bukan hanya soal membentuk, tapi juga soal rasa dan ketelitian.

“Produksi rumahan, tapi kualitas tetap harus ekspor. Kalau salah sedikit, bisa ditolak,” tegas Dono.

Saat ini, Dono dan rekan-rekannya berpacu dengan waktu. Pemerintah Amerika Serikat memberikan masa tenggang 90 hari sebelum tarif impor diberlakukan.

“Jadi sekarang kami kebut produksi, selesaikan semua pesanan sebelum aturan itu berlaku supaya enggak kena tarif impor 32 persen,” jelasnya.

Di sisi lain, Astinah (42), buruh perajin rotan lainnya, juga merasakan kecemasan yang sama. Ia bekerja di sebuah bengkel rotan yang sebagian besar produknya dikirim ke Amerika.

“Takut aja nganggur, soalnya tempat saya kerja ini kan banyak ekspor rotan karya kami ke Amerika,” ujarnya dengan nada khawatir.

Astinah berharap, pemerintah tak tinggal diam. Bagi para buruh, situasi ini bukan sekadar dinamika ekonomi internasional. Karena rotan ini menjadi jawaban untuk dapur tetap ngebul dengan aroma masakan untuk santapan keluarga.

“Maunya sih pemerintah pikirkan nasib kita yang kerja jadi buruh perajin rotan,” ujarnya penuh harap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *