Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Barat, Dadan Sudiana, menegaskan bahwa buruh akan menolak wacana penerapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) berbasis kawasan jika nilainya lebih rendah dari UMK daerah.
Dadan menilai kebijakan tersebut hanya bisa diterima jika nilai UMK kawasan lebih tinggi dari standar yang berlaku di tiap kabupaten/kota. “Selama UMK kawasan itu tidak di bawah upah minimum kabupaten kota tidak masalah. Tapi kalau UMK kawasan nilainya di bawah kabupaten kota ya tidak boleh,” kata Dadan saat konfirmasi infoJabar, Rabu (21/5/2025).
Menurutnya, kawasan industri khusus seperti Rebana tidak bisa disamaratakan jika justru berdampak pada pemangkasan hak buruh. Ia menekankan bahwa jika konsep kawasan ingin diterapkan, maka upah yang ditetapkan harus lebih besar, bukan lebih kecil.
“Namanya kan kawasan khusus, jadi nilainya harus lebih besar. Misal Rebana, itu kan beda-beda tuh Sumedang, Majalengka, kalau di bawah dari upah daerah tidak boleh, menolak. Kalau mau ada khusus harusnya nilainya di atas kabupaten kota,” tegasnya.
Dadan juga merespons usulan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi terkait formulasi UMK berdasarkan jenis produksi. Ia sepakat, namun menekankan pentingnya keadilan upah berdasarkan nilai jual produk yang dihasilkan.
Ia mencontohkan buruh yang memproduksi sepatu merek sama seperti Nike di dua daerah berbeda yakni Majalengka dan Serang, menerima upah berbeda, padahal harga jual produk tersebut seragam.
“Kalau mau berdasarkan produksi ya dari harga jualnya. Kan gak fair buruh mengerjakan produk yang sama tapi upahnya berbeda. Misal Nike di Majalengka dan Serang, produk sama, harga jual sama tapi upahnya Majalengka kecil,” ungkap Dadan.
Meski menyatakan dukungan terhadap formula yang mempertimbangkan jenis produksi, Dadan menegaskan bahwa UMK kawasan tidak boleh lebih rendah dari UMK daerah mana pun. Dadan juga mengaku baru pertama kali mendengar wacana ini.
“Yang penting itu tadi tidak di bawah upah minimum kabupaten kota karena itu paling dasar. Baru dengar (usulan ini) malah sekarang,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Bupati Sumedang Dony Ahmad Munir yang menginginkan adanya Upah Minimum Kabupaten (UMK) khusus di kawasan Rebana yang disampaikan dalam forum infocom Regional Summit 2025.
Keinginan itu kemudian direspon Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yamg menyebut ada kekeliruan dalam penentuan UMK khususnya di kawasan industri terintegrasi. Menurutnya, UMK kawasan industri yang berdekatan meski berbeda wilayah seharusnya ditentukan dengan formula yang berbeda.
“Persoalan UMK menjadi aneh karena kawasan itu daerah terintegrasi misal daerah industri Sumedang kan bisa bersatu dengan Subang dan Majalengka, kalau di Karawang itu bareng dengan Purwakarta, tapi upahnya berbeda karena pabriknya tetanggaan,” kata Dedi.
“Sumedang, di selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung, di utara dengan Majalengka. Bandung beda (upahnya) Majalengka, beda Subang beda. Ada logika yang paling benar untuk menyusun upah, upah tidak didasarkan pada teritorial tapi didasarkan pada jenis produksi,” lanjut Dedi.
Dedi menjelaskan, penentuan formulasi UMK harus didasarkan jenis produksi karena hal itu bisa menentukan besaran dan tingkat keuntungan di setiap industri. Karena itu, Dedi ke depan berencana mendorong penghitungan pengupahan tidak lagi berdasarkan letak geografis.
“Jadi ke depan kita dorong pengupahan ke tidak berdasarkan geografis letak wilayah tapi pengupahan berlaku sama tapi yang berbeda adalah jenis produksi yang dibuat. Kalau enggak nanti akan balap-balapan, nanti industri di jabar pindah ke jateng karena upahnya di bawah 2 juta nanti pindah lagi kan gak mungkin begitu terus,” katanya.