Wali Kota Cimahi, Ngatiyana, murka. Ia mencak-mencak saat menggelar pertemuan dengan jajaran manajemen dan tenaga medis RSUD Cibabat, menyusul meninggalnya seorang pasien BPJS bernama Ulfa Yulia Lestari. Baginya, tragedi ini bukan cuma soal satu pasien, tapi kegagalan sistem.
“Manajemennya harus dievaluasi dan operasional rumah sakit. Baik dari sisi tenaga medis, sarana prasarana, infrastruktur, serta hal lainnya,” kata Ngatiyana saat ditemui di RSUD Cibabat, Rabu (2/7/2025).
Ngatiyana bahkan mempersilakan ASN RSUD Cibabat mundur jika tidak sanggup menjalankan tugas.
“Saya tadi juga tawarkan kalau memang ada yang sudah tidak sanggup bertugas di RSUD Cibabat, silakan ajukan permohonan pindah, saya tandatangani. Kalau ada yang mau pensiun dini, silakan juga akan saya tandatangani. Kalau memang sudah tidak sanggup melayani masyarakat, itu adalah pilihan bebas,” ucapnya.
Ia memerintahkan audit klinis untuk mengetahui fakta dari dua sisi. “Kejadian ini akan kita audit secara klinis, bagaimana sebenarnya yang terjadi. Kita harus imbang, tidak boleh menyalahkan dokter tanpa audit. Semua ada tahapannya, kalau memang ada kesalahan dan sebagainya ya harus berani bertanggungjawab. Tapi kalau dokter sudah bekerja dengan benar, kenapa harus disalahkan?” kata Ngatiyana.
Ngatiyana juga menyoroti performa layanan RSUD Cibabat dibanding rumah sakit swasta lain. “RSUD (Cibabat) kalah dengan Rumah Sakit Kasih Bunda, RS Mitra kasih, penyerapan anggaran semua melalui BPJS itu setahun hampir Rp1 triliun. Tapi rumah sakit Cibabat urutan ke sekian. Kita harus evaluasi, animo masyarakat ke Cibabat kalah sama ke rumah sakit lainnya,” katanya.
Pernyataan keras Ngatiyana itu muncul setelah viralnya video seorang pria yang marah-marah di ruang perawatan RSUD Cibabat. Dalam video itu, ia memprotes lambannya penanganan terhadap istrinya, Ulfa Yulia Lestari, pasien BPJS yang akhirnya meninggal dunia pada Minggu (29/6/2025).
“Aing tikamari ngomong sus tolong sedot itu perutnya udah penuh. Ayeuna tingali pamajikan aing kumaha ieu. Abong keneh pamajikan aing make BPJS hare-hare, beda jeng umum. Aing tikamari keneh menta tulung ka suster, sus bisa teu pangnyedotekun. Ke hela nungguan dokter. Teu narima lamun pamajikan aing teu benang ditulungan (Saya dari kemarin ngomong sus tolong sedot itu perutnya sudah penuh. Sekarang lihat itu istri saya, bagaimana ini. Mentang-mentang istri saya pakai BPJS jadi diabaikan, beda dengan umum. Saya dari kemarin minta tolong ke suster, sus bisa enggak minta disedotkan. Nanti dulu nunggu dokter. Enggak terima kalau istri saya enggak bisa ditolong), kata pria itu dalam video tersebut.
Saat ditemui infoJabar di rumah duka di Desa Pakuhaji, Ngamprah, KBB, Nandang menceritakan lebih detail.
“Jadi istri saya masuk ruangan rawat Gedung E nomor 304 RSUD Cibabat itu hari Jumat malam, padahal datang dari pagi. Saya minta penanganan oleh dokter, tapi kata susternya dokter sedang nggak ada,” kata Nandang.
Ia bahkan menyanggupi untuk bertanggung jawab secara pribadi agar prosedur bisa dilakukan. “Memang waktu itu susternya bilang, mereka bisa melakukan penanganan tapi nggak ada izin dokter jadi nggak berani apa-apa. Tapi saya bilang, kalau ada apa-apa saya suaminya yang bertanggungjawab, yang penting ditangani dulu,” katanya.
Namun permintaan itu tak dipenuhi. Sampai akhirnya kondisi Ulfa memburuk hingga dinyatakan meninggal pada Minggu siang.
“Jadi waktu istri saya sudah kritis juga, suster yang datang itu cuma 1. Setelah saya teriak-teriak, baru suster lainnya datang. Ada dokter juga, malah saya sempat ribut sama dokternya gara-gara saya protes soal istri saya nggak ditangani. Dokter bilang ke saya jangan ngomong macam-macam, karena mereka nggak cuma ngerawat 1 pasien. Padahal istri saya itu dari hari Jumat kondisinya sudah darurat,” jelas Nandang.
Keluarga Ulfa tidak menuntut, namun meminta ada perbaikan layanan agar tidak ada lagi pasien yang bernasib serupa.
“Saya dan keluarga nggak menuntut apa-apa, cuma minta dokter itu jangan lalai menangani pasien. Nyawa pasien kritis itu yang utama, itu sudah tanggungjawabnya dokter. Jangan pasien kritis didiamkan. Biar istri saya saja yang mengalami kejadian seperti ini, jangan ada korban lain. Mentang-mentang istri saya BPJS, beda dengan pasien umum,” ujarnya.
Menanggapi kritik dan viralnya video pasien, Direktur Utama RSUD Cibabat, Sukwanto Gamalyono menyampaikan klarifikasi. “Pada saat pasien masuk, kami sudah melakukan penanganan sesuai SOP. Jadi sejak dari IGD selama 3 jam sampai masuk ke ruang perawatan, seperti sanggahan dari teman-teman dokter semua sudah bekerja maksimal,” ujar Sukwanto.
Terkait permintaan penyedotan cairan yang disebut tidak dilakukan, Sukwanto memberi penjelasan.
“Seperti yang viral itu soal penyedotan ya, memang pernah dilakukan penyedotan sebelumnya ya dan itu harus dilakukan dokter spesialis. Penuh risiko, apapun yang dilakukan di dunia kedokteran ada risikonya. Kenapa tidak disedot? Harus di USG dulu, apakah itu memang cairan, atau itu tumor. Tidak bisa diulang tindakannya seperti yang sebelumnya. Sebetulnya juga waktu itu rencananya akan dilakukan hari Senin,” katanya.
Ia juga menegaskan tidak ada diskriminasi terhadap pasien BPJS. “Memang seolah-olah bahwa ini kok nggak diapa-apakan pasien BPJS, tapi sudah kita lakukan semuanya. Dan saya sudah tekankan juga kepada teman-teman di IGD maupun di rawat inap, lakukan sesuai SOP sesuai tadi yang disampaikan Pak Wali Kota saat apel. Kita tidak pernah membeda-bedakan mana pasien BPJS atau pasien umum,” imbuhnya.