Vonis 2,5 Tahun Eks Polisi dan Pengampunan Sopir Korban Perampokan

Posted on

Ruang sidang itu masih hening. Hanya deru pendingin udara yang terdengar samar. Dua terdakwa, mantan polisi muda NAL (21) dan penadah barang rampokan, Sol (54), sudah lebih dulu duduk di kursi pesakitan. Jaksa Fifi Wignyorrini juga hadir, menunggu dimulainya sidang tuntutan pada Kamis sore (16/10/2025).

Lebih dari satu jam berlalu sebelum palu sidang diketuk pukul 16.10 WIB. Bagi NAL dan Sol, waktu terasa berjalan cepat. Bisa jadi yang mereka tunggu adalah akhir dari babak panjang penyesalan.

“Pasrah saja putusannya apa,” ujar NAL lirih kepada infoJabar, kepalanya tertunduk dalam ruang sidang.

Di sampingnya, seorang perempuan muda berusia 20 tahun duduk diam. Dialah S, istrinya, yang kini tengah mengandung delapan bulan. Sesekali, tangan NAL yang terborgol meraih tangan sang istri.

“Alhamdulillah, perempuan,” bisik S dengan senyum lemah, seolah ingin menyemai secuil harapan di tengah kabut masa depan.

Tak jauh di belakang mereka, NQ, korban perampokan, duduk tenang. Ia hadir untuk mendengar putusan hakim Erlinawati – mungkin juga untuk menutup luka masa lalu dengan cara yang lebih damai.

“Menjatuhkan pidana dua tahun enam bulan penjara,” ucap hakim dengan nada datar.

Putusan itu satu tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. NAL hanya mengangguk. Tidak ada ekspresi lega, hanya wajah kosong yang menua sebelum waktunya. Jaksa Fifi juga menerima. Tak ada banding. Begitu pula Sol yang divonis delapan bulan, sama dengan masa tahanannya.

Setelah hakim menutup sidang, NAL menoleh ke belakang. Di sana, NQ berdiri. Dalam satu gerakan refleks yang hampir suci, NAL membungkuk dan mencium tangannya. “Maaf, Pak… maaf,” ucapnya berulang. Istrinya pun ikut menunduk.

Beberapa saat sebelum sidang dimulai, NAL sempat bercerita tentang bagaimana ia terjerumus ke jurang yang kini membawanya ke penjara.

“Saya takut waktu itu… teman saya nembak pistol ke kepala. Saya punya utang, harus benerin mobil buat taksi online,” ujarnya pelan. Ia mengaku, ketika libur dari dinas kepolisian, ia menyambi sebagai sopir daring demi tambahan penghasilan.

Namun, utang dan ancaman membuatnya gelap mata. “Saya sudah lapor juga waktu sidang PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat),” katanya. Pistol yang digunakan dalam perampokan, menurutnya, pistol rakitan milik rekan sesama anggota.

Ketika disinggung soal korban, NAL terdiam cukup lama. “Saya sempat nangis, ingat orangtua. Karena beliau (korban) juga orangtua,” ujarnya. Kalimatnya terputus dan tidak melanjutkan cerita tersebut.

Kini seragam cokelat kebanggaannya sudah diganti dengan kaus jingga bertuliskan Tahanan Lapas Klas II Cibinong. “Ini pelajaran buat saya. Saya ingin berubah,” katanya menunduk.

Bagi NQ, sopir taksi online yang dirampok, peristiwa itu masih membekas. Ia nyaris kehilangan nyawa dan mata pencaharian. Namun usai sidang, ia mengulurkan tangan.

“Saya sudah maafkan dia. Tapi hukum harus tetap berjalan,” ujarnya tenang.

Ia masih ingat jelas malam peristiwa yang tidak pernah dia bayangkan menimpanya itu. “Yang ada di pikiran saya waktu itu, nggak ada yang selamat dari korban begal. Kalau bukan dibuang di mana, ya di sungai,” katanya pelan.

Hari itu, di ruang sidang yang sederhana, tidak hanya keadilan yang ditegakkan, tapi juga pengampunan yang diberikan.

Gelap Mata dan Penyesalan

Luka yang Memaafkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *