Di banyak sekolah dasar di Kabupaten Sukabumi, pagi hari dimulai dengan suasana yang tenang. Sebelum guru membuka pelajaran, anak-anak sudah menunduk pada buku bacaan mereka.
Kegiatan sederhana yang hanya berlangsung beberapa menit itu menjadi bagian dari rutinitas harian sekolah, upaya yang terus dirawat untuk membentuk budaya literasi sejak dini.
Pembiasaan literasi bukan sekadar program tambahan. Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi menempatkannya sebagai bagian dari iklim belajar yang harus dibangun dari akar.
Kepala Dinas Pendidikan, Deden Sumpena menegaskan pentingnya rutinitas literasi sebagai pondasi perkembangan anak.
“Pembiasaan literasi menjadi bagian dari budaya sekolah. Anak perlu dibiasakan membaca setiap hari agar terbentuk karakter belajar yang kuat,” ujar Deden dalam keterangan tertulis kepada infoJabar.
Di lapangan, pembiasaan itu hadir dalam berbagai bentuk. Ada sekolah yang menetapkan waktu membaca sepuluh hingga lima belas menit sebelum pelajaran dimulai.
Ada pula yang menata sudut baca sederhana berisi buku-buku cerita, komik edukatif, dan materi pengetahuan umum. Ruang kelas disiapkan sebagai tempat yang ramah untuk membaca, dengan tata letak yang rapi dan suasana yang tidak tegang.
Kepala sekolah memegang peran besar dalam menjaga rutinitas itu tetap berjalan. Mereka menyusun pembiasaan literasi sebagai bagian dari agenda harian, memantau pelaksanaannya, dan memastikan guru ikut menggerakkan anak-anak untuk membaca secara rutin.
“Kepala sekolah memegang peran penting menggerakkan pembiasaan literasi. Rutinitas berjalan kalau kepemimpinannya kuat,” kata Deden.
Namun pembiasaan literasi tidak berhenti pada rutinitas membaca. Iklim kelas yang mendukung turut mempengaruhi efektivitas kegiatan ini.
Guru mengajak siswa berdiskusi ringan tentang apa yang mereka baca, atau sekadar meminta mereka menyebut bagian cerita yang mereka sukai. Interaksi seperti ini membuat anak merasa membaca bukan tugas, melainkan kegiatan yang menyenangkan.
Pengawas sekolah juga berperan dalam memastikan pembiasaan literasi berjalan. Melalui Survei Lingkungan Belajar bagian dari Asesmen Nasional pengawas bisa melihat apakah iklim sekolah mendukung kegiatan membaca, bagaimana interaksi guru-siswa berlangsung, dan apakah suasana kelas cukup kondusif untuk literasi.
“Survei Lingkungan Belajar membantu kami melihat apakah iklim sekolah mendukung literasi anak,” ujar Deden.
“Di sejumlah sekolah, pembiasaan dilakukan dengan pendekatan yang lebih kontekstual. Sekolah yang dekat pesisir mengajak siswa membaca cerita tentang laut dan kehidupan nelayan,” ungkap Deden.
Sekolah yang berada di lingkungan desa adat mengenalkan nilai-nilai lokal melalui cerita rakyat. Guru memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai inspirasi bahan bacaan, sesuai prinsip pembelajaran kontekstual yang ditekankan Dinas Pendidikan.
Kreativitas sekolah menjadi kunci karena fasilitas literasi belum merata di semua wilayah. Masih ada sekolah yang membutuhkan pendampingan lebih intensif, baik dalam penyediaan bahan bacaan maupun penguatan budaya belajar.
Kepala sekolah yang baru menjabat juga memerlukan waktu untuk menata ulang rutinitas harian agar pembiasaan literasi kembali berjalan konsisten.
“Meski tantangan itu ada, upaya pembiasaan literasi terus bergerak. Sekolah perlahan menyadari bahwa kemampuan membaca tidak muncul dari pelajaran teori semata, tetapi dari kebiasaan yang dipupuk setiap hari. Anak perlu ruang yang aman untuk membaca, lingkungan yang mendukung, dan guru yang memandu tanpa menghakimi,” beber Deden.
“Kami ingin anak-anak belajar dalam lingkungan yang sehat dan manusiawi. Literasi menjadi pintu masuk untuk memperkuat mutu belajar dari dasar,” sambungnya.
Dari sekolah-sekolah di pesisir hingga perkampungan di perbukitan, pembiasaan literasi tumbuh perlahan. Tidak selalu sempurna, tetapi berjalan lewat rutinitas kecil yang dijaga setiap hari.
“Rutinitas-rutinitas itulah yang membentuk kecintaan anak pada buku, sekaligus menjadi fondasi bagi peningkatan mutu pendidikan di Sukabumi,” pungkasnya.







