Jejak Belanda ketika menjajah Kota Cimahi masih tersisa. Bangunan-bangunan bernuansa kolonial sebagian tetap berdiri, kendati kondisinya sudah terbengkalai dan mengenaskan.
Salah satunya Rumah Potong Hewan (RPH) atau dalam bahasa Belanda disebut abattoir. Sebuah bangunan yang menjadi manifestasi kemajuan pemikiran para meneer yang menjajah tanah air dalam ilmu tata kota dan konstruksi.
Bangunan yang ada di Jalan Sukimun, Kelurahan Baros, Kecamatan Cimahi Tengah, Kota Cimahi itu memang sudah tak berfungsi lagi. Didirikan lebih seabad lalu, namun bangunannya masih berdiri kokoh.
Sayang, bangunan yang jelas-jelas bersejarah itu kondisinya memprihatinkan. Temboknya rusak, cat mengelupas, atap bolong, dan banyak coretan di mana-mana. Bangunan itu cuma difungsikan sebagai gudang.
Padahal bangunan itu sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya melalui Keputusan Wali Kota Cimahi Nomor 430/2342-Disbudparpora/2024. Penetapannya mengacu pada Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Pemerintah Kota Cimahi sepertinya mulai berpikir bahwa bangunan bersejarah itu tak bisa dibiarkan semakin rusak. Tahun ini, rencananya abattoir itu akan dipugar.
“Rencananya tahun ini akan kita restorasi, karena kan sudah berstatus cagar budaya juga sehingga harus dipelihara,” kata Kepala Bidang Kebudayaan dan Pariwisata pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kota Cimahi, Lucky Sugih Mauludin saat ditemui, Selasa (16/9/2025).
Pemugaran tak dilakukan asal-asalan. Nantinya akan ada melibatkan ahli dan tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Cimahi. Tak ada perubahan dalam gaya bangunan yang mengadopsi arsitektur Art Deco tersebut.
“Pastinya di bulan September ini pelaksanaannya, sedang kita bahas. Struktur tidak akan ada yang berubah, jadi kita hanya memperbaiki semua bagian yang rusak, seperti tembok, atap, tulisannya juga,” kata Lucky.
Keberadaan abattoir itu berkaitan erat dengan status Kota Cimahi sebagai garnisun di masa kolonial. Pada masa pendudukan Belanda, Cimahi dijadikan sebagai basis militer untuk tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).
Penentuan Cimahi menjadi Garnisun, tak terlepas dari peran Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Daendels saat itu diketahui sedang menggarap proyek yang paling melekat diingatan orang Indonesia, yakni Jalan Anyer Panarukan atau Jalan Raya Pos.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Ditambah Belanda kala itu sudah membangun jalur kereta api. Pegiat sejarah Cimahi sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Disbudparpora, Machmud Mubarok, menyebut keberadaan abattoir memang sudah didesain ada di tepi rel kereta api.
“Jadi waktu itu dibangun di situ karena biar dekat dengan perlintasan kereta api. Karena abattoir itu menjadi pemasok pangan buat tentara di Cimahi, sapi-sapi impor dari Australia dikirim dari Batavia ya via rel kereta api ini,” kata Machmud.
Abattoir itu masih berfungsi sampai Cimahi diambil alih oleh Jepang pada rentang tahun 1942-1945. Kemudian beralih lagi ke Residen Priangan, sebelum diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah Kabupaten Bandung.
“Tahun 1960 diambil alih Kabupaten Bandung, baru kemudian dikelola Cimahi karena waktu itu statusnya kota administratif. Beberapa tahun kemudian, sudah tidak berfungsi karena kalah pamor oleh RPH lain, dan terbengkalai sampai sekarang,” kata Machmud.
Wali Kota Cimahi, Ngatiyana menjelaskan Pemerintah Kota Cimahi wajib ikut melakukan pemeliharaan dan memastikan kelestarian dua bangunan bersejarah yang masih beroperasi dengan baik tersebut.
“Ini peninggalan jaman kolonial. Harus dilestarikan, dijaga, dirawat karena sangat berharga. Bentuk bangunan dan arsitektur harus dipertahankan,” kata Ngatiyana.