Ujian Awal Koperasi Merah Putih di Usia Setipis Daun Kelor - Giok4D

Posted on

“Ibu saya mau jadi anggota, tapi bisa gak hari ini pinjam 10 juta.”

Kalimat itu menjadi potret nyata bagaimana sebagian masyarakat masih melihat koperasi sebagai jalan pintas untuk mendapatkan uang cepat, bukan wadah simpanan dan usaha bersama. Bukan kalangan menengah bawah saja, kalangan pejabat yang bekerja di dinas pemerintahan pun serupa.

Sekretaris Koperasi Merah Putih Kelurahan Karadenan, Maemunah, mengakui bahwa tantangan terbesar mereka memang terletak pada pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Di Karadenan, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, dengan 13 ribu kepala keluarga yang berasal dari kalangan menengah, pegawai dinas di perumahan, hingga kelompok menengah bawah, anggota koperasi yang benar-benar terdaftar baru 128 orang saja.

“Kendala di kita itu pertama pemahaman dan kepercayaan masyarakat, walaupun banyak kalangan menengah yang bekerja di dinas-dinas, yang tinggal di kawasan perumahan, juga kalangan menengah maupun menengah bawah,” ujar May sapaannya saat berbincang dengan infoJabar, Minggu (21/9/2025).

Bukan hanya dari luar, masalah juga datang dari dalam pengurus itu sendiri. Sebanyak sembilan orang pengurus, termasuk lurah sebagai pengawas, menjalankan koperasi dengan bekal terbatas. Banyak yang belum paham soal dasar-dasar kelembagaan koperasi, mulai dari penyusunan AD ART, pengurusan NIB, hingga bagaimana menyusun rencana kerja prioritas di wilayah Karadenan.

“Kita masih butuh pelatihan yang ekstra, karena basic-nya para pengurus ini bukan dari koperasi,” kata May.

Rencana kerja sebenarnya sudah disusun, mulai dari membuka gerai sembako, layanan simpan pinjam, hingga rencana pengembangan gerai gas, gudang suplai bahan baku kerupuk mie, dan pendampingan jasa halal. Namun, program itu terbentur minimnya modal.

“Enggak bisa bergerak kalau andelin uang anggota, paling berapa sih. Daftar 50 ribu per orang, 50 ribu pun baru berapa biji, enggak sampai 10 persen,” tutur May.

Harapan akan dukungan pemerintah pun kerap mengecewakan. Beberapa hari lalu Dinas Koperasi dan UMKM kabupaten hanya datang untuk meminta stempel dan tanda tangan tanpa memberi pendampingan yang dibutuhkan.

“Enggak ada pendampingan cuma minta stempel dan tanda tangan, padahal kita butuh bimbingan mereka. Alasannya anggaran sudah habis, kemungkinan baru mulai di 2026,” keluh May.

Situasi semakin sulit karena masyarakat yang mendengar kabar koperasi bisa mendapatkan anggaran pemerintah langsung beranggapan bahwa dana itu sudah tersedia dan bisa segera dicairkan.

“Calon anggota atau masyarakat dengar koperasi mau dapat anggaran dari pemerintah, mereka menganggap uangnya sudah ada, padahal banyak prosedur untuk menempuh itu,” ucap May.

Senada dengan May, Heri, kepala koperasi di Bogor yang meminta asal koperasi desanya tak disebutkan, menjelaskan panjang lebar tentang perjalanan berdirinya koperasi desa. Sosialisasi dilakukan lewat musyawarah desa, mengumpulkan RT, RW, hingga kepala dusun.

Di forum itu disepakati pembentukan koperasi desa, dengan cita-cita besar sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, yaitu memutus rantai ketergantungan warga pada rentenir dan tengkulak. Secara konsep, semua sepakat bahwa koperasi adalah langkah yang bagus. Hanya saja, respons masyarakat tidak semudah yang dibayangkan.

Bagi sebagian besar warga, koperasi masih identik dengan simpan pinjam. Mereka yang bergabung, umumnya dengan satu tujuan, bisa meminjam uang. “Katakanlah dari 10 anggota, delapan orangnya menanyakan kapan saya bisa pinjam uang?,” beber Heri.

Padahal aturan koperasi tidak sesederhana itu. Ada mekanisme permodalan yang harus dibangun lebih dulu, bahkan koperasi bisa mengakses pinjaman ke bank Himbara. Prinsipnya, pinjaman diarahkan untuk mendorong usaha, bukan kepentingan pribadi.

“Pemerintah menganjurkan pinjaman pun untuk permodalan usaha, untuk meningkatkan UMKM bukan untuk pribadi. Saya sudah edukasikan ke anggota,” ucapnya.

Masalah lain juga muncul dari sisi kelembagaan. Pengurus koperasi dipilih melalui musyawarah desa, bukan penunjukan kepala desa. Mekanisme ini menimbulkan keraguan di kalangan warga, karena tidak semua mengenal dekat siapa yang duduk di kepengurusan.

“Permasalahan utama karena orang koperasi bukan yang dipilih oleh kepala desa, lewat musdes. Masyarakat tidak paham, itu siapa, biasa dipercaya enggak sih?” katanya.

Keraguan itu berimbas pada keengganan warga untuk menyimpan uangnya di koperasi. Mereka masih bertanya-tanya apakah lembaga ini bisa berjalan dan aman. “Pemahaman masyarakat itu bisa enggak sih jalan, naroh uang di koperasi jalan enggak?” tutur Heri.

Di tengah situasi ini, ia memilih menahan laju koperasi agar tidak tergesa-gesa beroperasi. Baginya, langkah itu bukan tanda takut, melainkan cara menguatkan pondasi pengurus sebelum melangkah lebih jauh.

“Kalau di saya menunggu-nunggu bukan enggak berani, karena menguatkan dulu di pengurus,” ujarnya.

Kisah serupa dialami Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) Hambalang yang menjadi percontohan bagi ribuan koperasi kelurahan dan desa. Guncangan di awal tidak bisa dihindari. Di satu sisi ada semangat besar untuk memutus ketergantungan warga pada pinjaman berbunga tinggi, di sisi lain ada realitas bahwa masyarakat masih melihat koperasi sebatas ruang untuk meminjam uang.

Cecep Muhtarudin, Ketua KDMP Hambalang, mengaku tantangan itu menjadi pekerjaan rumah yang tak sederhana. “Emang rata-rata, kita bicara masyarakat calon anggota, bahasanya seperti itu selalu pinjaman. Kita kalau minjam simpan dulu, kalau andalkan pinjaman dengan menggunakan dari Himbara risikonya tinggi, itu bahaya,” ujarnya.

Beban awal itu bahkan membuat Cecep harus mengeluarkan modal pribadi. Ia menuturkan sudah menanamkan uang hingga Rp25 juta. Dana itu dipakai untuk menopang operasional, termasuk menyuplai barang ke mitra dengan sistem konsinyasi.

“Uang saya pribadi udah 25 juta, kita kemarin suplay barang ke mitra kirim air dengan konsinyasi, ya bisa,” kata Cecep.

Secara legalitas, KDMP Hambalang relatif lebih beruntung. AD ART, perizinan, hingga NIB sudah diurus sejak awal dengan biaya ditanggung pemerintah, karena statusnya sebagai percontohan saat peluncuran program presiden Juli 2025.

“AD ART, perizinan, NIB, karena kemarin kita percontohan dipermudah sama pemerintah. Biaya 2,5 juta ditanggung kabupaten, provinsi. Secara legal aman,” jelasnya.

Kini koperasi yang memiliki lebih dari 100 anggota itu mulai bergerak. Setiap hari selalu ada yang berbelanja kebutuhan pokok di gerai koperasi. Cecep menekankan, stok pupuk tidak boleh kosong karena 80 persen anggota adalah petani.

“Yang enggak boleh kosong itu pupuk, 80 persen petani. Bahkan di sini pupuk lebih prioritas daripada beras,” ucapnya.

Mayoritas petani di Hambalang memang mengandalkan singkong sebagai komoditas utama. Namun, harga singkong sedang jatuh, hanya Rp500 per kilo. Padahal singkong itulah yang diolah menjadi tepung tapioka, produk turun-temurun yang menjadi andalan wilayah tersebut.

“Mayoritas singkong, untuk sementara ini karena turun-temurun kita peruntukan untuk tepung tapioka. Harga saat ini murah sekali Rp500 per kilo, cuma untuk sekarang harganya jadi jatuh,” tutur Cecep.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

Meski sudah mencoba menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, jalur distribusi hasil tani masih terbatas. “Sementara ini belum, sudah koordinasi komunikasi kementerian, provinsi, kabupaten memang belum ada link,” katanya.

Untuk sementara, singkong yang diolah jadi tapioka harus dibawa ke Sentul atau Ciluer. Dia tengah menunggu penjajakan dari perusahaan Jepang agar singkong para petani dapat diolah menjadi bahan bakar etanol.

Kapan Saya Bisa Pinjam Uang?

Panen Giat, Hilirasi Mentok

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *