Tragedi Kontrakan Bandung, Komnas Perempuan Soroti Kurangnya Perlindungan

Posted on

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merespons tragedi memilukan yang dialami seorang ibu berinisial EN (34) dan dua anaknya, AA (9) serta AAP (11 bulan), di dalam kontrakan Kampung Cae, Desa Kiangroke, Banjaran, Kabupaten Bandung. Ketiganya ditemukan meninggal dunia setelah disinyalir bunuh diri dengan meninggalkan surat berisi pesan yang begitu menggetarkan hati.

Dalam perbincangannya bersama infoJabar, Wakil Ketua Komnas Perempuan Dahlia Madanih turut berduka atas tragedi yang terjadi. Menurutnya, peristiwa itu harus jadi perhatian pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk serius menangani masalah kekerasan perempuan yang menurutnya sudah masuk fase kritis.

“Yang pertama kami perhatikan ada situasi yang dihadapi oleh ibu dan dua anaknya serta keluarga yang ditinggalkan. Ini tentu menjadi penting untuk diberikan perhatian yang secara serius oleh pemerintah, terutama juga pemerintah daerah, dan untuk lebih memperhatikan situasi yang sebetulnya sudah di situasi kritis yang panjang dialami oleh perempuan,” katanya, Selasa (9/9/2025).

Dalam catatan Komnas Perempuan, sepanjang 2024, terdapat 445.502 kasus terhadap perempuan di berbagai faktor. Ironisnya, Jabar berada di urutan tertinggi masalah data Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) tahun 2024 dengan total 688 kasus.

Seharusnya, kata Dahlia, pemerintah daerah di Jabar lebih peduli atas catatan tersebut. Sebab menurut Dahlia, catatan ini perlu menjadi alarm bagi pemerintah daerah supaya lebih peka memperhatikan masalah kekerasan yang dialami perempuan.

“Data-data itu sudah menunjukkan lama bahwa ada persoalan serius yang dihadapi perempuan. Nah, korban ini kan meninggal karena dugaan bunuh diri itu dengan meninggalkan kesan yang terkait dengan kekerasan yang dialaminya, terutama kekerasan rumah tangga. Di mana dia mengalami situasi selain kesulitan ekonomi, tapi juga konteks kekerasan psikis dan kekerasan-kekerasan yang dialami sepanjang dengan waktu yang lama,” ucapnya.

“Dan sebagian besar kasusnya perlu menjadi perhatian serius adalah persoalan suami yang tidak bertanggung jawab. Ini kan data yang sudah berbunyi lama dan seharusnya menjadi alert bagi pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah penyikapan baik dalam konteks kualitas hidup, dan juga untuk membangun early warning system bagaimana situasi yang berat dihadapi oleh perempuan itu juga bisa terdeteksi sejak lama, sejak baik dia ditinggal di komunitas maupun ketika dia dapat akses layanan,” tuturnya menambahkan.

Dalam pandangannya, Dahlia membeberkan tragedi ini bisa terjadi karena korban tidak mendapatkan ruang yang bisa menyelesaikan masalah di komunitas terdekatnya. Bahkan, korban bisa saja tidak mendapatkan akses untuk layanan kesehatan mental hingga akses kejahteraan.

“Padahal kita punya undang-undang yang memandatkan pemerintah untuk pembangunan kualitas untuk pemenuhan perempuan, ya. Nah mungkin masalahnya kalau tinggal di perkotaan itu kan ruang komunitasnya itu seharusnya sudah bisa dibangun dan terkoneksi antara satu dengan yang lainnya, namun memang stigmatisasi orang untuk memberi tahu situasinya, situasi baik kekerasan maupun situasi keluarga yang dihadapi itu juga seharusnya bisa dibaca oleh komunitas yang terdekatnya,” beber Dahlia.

Dahlia menekankan supaya pemerintah daerah di Jabar untuk lebih peka menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, penerintah punya sumber daya yang memadai, mulai dari kader poyandu, kader penggerak hingga komunitas lain yang berada di wilayah.

“Dan kami berharap pemerintah daerah juga memiliki hotline-hotline yang disebarluaskan secara masif, agar orang bisa mengakses bantuan ketika dia mengalami kesulitan apapun. Termasuk dalam konteks kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.

Korban Tak Mendapatkan Ruang Penyelesaian Masalah di Komunitas Terdekat

Dahlia menekankan supaya pemerintah daerah di Jabar untuk lebih peka menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Pasalnya, penerintah punya sumber daya yang memadai, mulai dari kader poyandu, kader penggerak hingga komunitas lain yang berada di wilayah.

“Dan kami berharap pemerintah daerah juga memiliki hotline-hotline yang disebarluaskan secara masif, agar orang bisa mengakses bantuan ketika dia mengalami kesulitan apapun. Termasuk dalam konteks kekerasan terhadap perempuan,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *