Gara-gara bertahan menolak uang ganti rugi senilai sekitar Rp 12 miliar untuk rumahnya, seorang warga di Provinsi Jiangsu, China, justru berakhir sakit kepala berat hingga mengalami neurasthenia.
Wanita bernama Bibi Zhang itu sebelumnya menjadi sorotan nasional lantaran menolak digusur demi proyek kereta cepat bernilai 38 miliar yuan (sekitar Rp 88,9 triliun) yang menghubungkan Jiangsu, Zhejiang, dan Shanghai.
Pemerintah setempat sejatinya sudah menawarkan 5 juta yuan atau sekitar Rp 11,7 miliar plus tiga rumah baru dengan ukuran setara miliknya. Namun Zhang menolak dan menuntut ganti rugi hingga ratusan miliar rupiah.
Rumah sederhana Zhang menjadi satu-satunya bangunan yang belum direlokasi sehingga pembangunan rel kereta sepanjang 163,54 kilometer terhambat dua tahun lamanya.
Meski begitu, kontraktor tetap membangun jembatan rel di kedua sisi rumah Zhang sehingga bangunan tersebut terlihat terisolasi. Semakin pemerintah menolak, tuntutan Zhang semakin tinggi-bahkan sempat meminta 200.000 yuan per meter persegi atau sekitar Rp 468 juta. Ia bersikukuh minta Rp 233 miliar untuk seluruh properti.
Sorotan media yang masif dan tekanan publik akhirnya membuat Zhang mengalami gangguan kesehatan. Media China melaporkan bahwa ia menyerah dan kini bersedia menerima tawaran pemerintah sesuai ketentuan resmi.
Dengan keputusan itu, keluarga “paling keras kepala” di Jiangsu tak lagi menghalangi penyelesaian proyek kereta cepat tersebut.
Huang Ping kini hanya bisa meratapi keputusannya, dahulu ia tetap kukuh untuk tetap tinggal dan bertahan di rumahnya yang berada di tengah-tengah proyek tol.
Penyesalan yang selalu datang terlambat, kerap menghinggapinya karena ia menolak kompensasi sebesar 180.000 poundsterling atau Rp 3,9 miliar dari pemerintah, sebagai kompensasi pembebasan lahan.
Alhasil, Huang tinggal di ‘rumah kejepit’ jalan tol. Pihak kontraktor pun menyediakan terowongan berbentuk bulat di sisi kiri dan kanan rumah Huang, sebagai akses ke rumah.
Dilansir dari Independent, jalan tol tersebut dibangun sejajar dengan atap rumah. Alhasil rumah Huang Ping tampak seperti masuk ke dalam lubang bila dilihat dari atas.
Di pinggiran ‘lubang’ rumah tersebut, terdapat pagar pembatas agar kendaraan dan properti tersebut tetap aman. Selain itu, dibuatkan dinding penahan yang berundak seperti tangga.
Bukannya betah, Huang justru tak tahan suara bising dari deru kendaraan yang lewat. Belum lagi debu yang berterbangan yang membuat rumahnya selalu kotor.
“Jika saya dapat memutar kembali waktu, saya akan menyetujui persyaratan pembongkaran yang mereka tawarkan. Sekarang rasanya seperti saya kalah taruhan besar. Saya sedikit menyesalinya,” kata Huang seperti yang dikutip dari Daily Mail pada Sabtu (25/1) lalu.
Kebisingan secara terus menerus dari truk-truk besar yang lewat membuat mereka terpaksa pindah. Tidak diketahui pasti kapan keluarga itu pindah, tetapi bangunan rumah sudah tampak kosong dan terbengkalai sejak Juli. Kondisi rumahnya terlihat terbengkalai dengan jendela rumah rusak dan tanaman liar tumbuh.
Saat dihubungi media setempat, pemilik mengonfirmasi bahwa keluarganya telah meninggalkan rumahnya. Alasannya karena kebisingan lalu lintas yang tiada henti serta rasa takut.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Mereka lebih memilih untuk menyewa rumah di kota terdekat. Belum diketahui pasti bagaimana nasib rumah itu nantinya. Jika rumah tersebut dihancurkan pun, Huang hanya akan mendapat sebagian kecil dari kompensasi yang dulu ditawarkan kepadanya.
Artikel ini telah tayang di