Sebelum menghisap tembakau, orang Sunda menghisap madat. Setidaknya, begitulah yang tergambar di dalam cerita pantun Badak Pamalang yang ditranskripsi sastrawan Ajip Rosidi dari juru pantun di pesisir Sukabumi. Ketika tembakau dibawa oleh orang Spanyol ke nusantara, orang Sunda beralih menghisap tembakau.
Tentu saja, tembakau diolah sendiri. Proses pengolahan dengan merajang daun tembakau itu setipis rambut lalu menjemurnya dalam bentuk yang rapi dan tertata menjadi kesan tersendiri sebagai citra tembakau itu.
Tembakau rajangan yang telah kering setelah melewati masa penjemuran di bawah sinar matahari langsung selama dua pekan lalu digulung. Tembakau ini bisa digulung lantaran bentuknya panjang dan lebar, seperti sebuah handuk berukuran sedang. Tembakau gulung ini lalu disebut ‘mole’.
Tembakau mole menjadi ciri khas tembakau dari Jawa Barat. Meskipun banyak juga tembakau jenis lain. Tembakau mole banyak dikembangkan di Kabupaten Sumedang, Majalengka, Garut, dan sekitarnya. Tembakau ini punya bentuk, warna, dan rasa yang khas. Apa saja keunikan ‘bako mole’ ini? Simak artikel ini yuk!
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2018 telah melepas varietas tembakau unggul lokal mole merah dan mole putih dari Kabupaten Sumedang dan Majalengka, yaitu varietas Temangi, Hanjuang, Kenceh, Sigalih, Citrasari, dan Kubangsari.
Varietas tembakau unggul lokal khas Kabupaten Garut juga dilepas pada tahun yang sama yaitu tembakau mole Garut dengan nama Tegar A1, Tegar A2, Tegar D1, Tegar D2, dan Tegar J.
Dikutip dari laman Dinas Perkebunan Jawa Barat, dengan pelepasan varietas itu, di Jawa Barat telah telah dilepas 11 varietas tembakau unggul lokal yang dapat dikembangkan secara legal.
Daun-daun dari tanaman yang ditanam itu pada proses pengolahannya akan dirajang sedemikian tipis, lalu hasil rajangannya ditata pada nampan bambu yang sering disebut ‘Sasag’, untuk kemudian dijemur selama beberapa hari. Jadilah irisan-irisan tembakau itu menjadi tembakau mole.
Di dalam kamus basa Sunda, R.A. Danadibrata disebutkan bahwa ‘bako mole’ atau tembakau molé adalah ‘bako lempengan asli digulungkeun’ (tembakau yang bentuknya lempengan dan asli tanpa saus, serta digulung).
Belum ada yang secara pasti menyebutkan kapan tembakau mole dikembangkan di Jawa Barat. Para pegiat sejarah baru sampai pada penelusuran kapan tembakau tiba di nusantara dan dibawa ke Jawa Barat.
Dalam bahan presentasi berjudul ‘Sejarah dan Perkembangan Tembakau di Jawa Barat’ oleh Atep Kurnia (Sumedang, 20 Juli 2024) dikatakan bahwa tanaman tembakau yang merupakan tanaman dari benua Amerika, diperkenalkan ke wilayah Asia melalui Filipina oleh Spanyol yang membawa tanaman itu dari Meksiko pada tahun 1575 masehi.
“Dan dibawa ke wilayah Nusantara pada tahun 1601,” kata Atep dalam tulisannya itu.
Dokumen pada tahun 1695 menyebutkan tentang permintaan ekstrak tembakau, dan penyebutan bahwa tembakau telah tumbuh di Cianjur. Pada tahun 1789, ada data yang menyatakan bahwa penduduk di Karawang telah menjadikan tembakau sebagai mata pencaharian.
“Tanggal 4 Agustus 1789, Rolff menyebutkan budidaya tembakau menjadi salah satu mata pencaharian penduduk Krawang, Tjiasem dan Pamanoekan,” tulisnya.
Namun, cara pandang sejarah nyaris selalu berlainan dengan cara pandang mitos. Bahwa bagi sebagian orang nusantara, tembakau tidak didatangkan dari wilayah lain, melainkan tanaman asli yang diturunkan karuhun dan dikelola leluhur secara turun-temurun.
“Tak kecuali beberapa komunitas masyarakat adat seperti Sunda Wiwitan Ciptagelar, Bayan (Wetu Telu), dan bukan tak mungkin masih banyak masyarakat adat lainnya yang meyakini, tanaman tembakau laiknya tanaman cengkeh berasal dari Nusantara,” tulis laman indonesia.go.id.
Secara umum, proses perajangan daun-daun tembakau hingga menjadi tembakau mole adalah seperti ini: daun-daun tembakau yang telah dipetik dipilah untuk mendapatkan daun terbaik.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Setelah dipilah, daun-daun itu dikupas uratnya. Urat daun harus dikelupaskan dengan cara disayat menggunakan pisau supaya tidak ‘mengganjal’ saat proses perajangan.
Setelah itu, daun disusun dalam susunan kecil untuk memudahkan daun-daun itu nanti dikepit dalam rangka kayu perajangan yang sering disebut ‘rambangan’. Pengirisan dilakukan dengan tangan kiri perajang memegang dan mendorong daun, sementara tangan kanan mengiris-iriskan pisau tajam dan berbilah tipis terhadap gumpalan daun itu.
Hasilnya, irisan setipis rambut terbentuk dari kerja yang tanpa henti tersebut. Dikatakan tanpa henti, karena untuk menjaga rasa dalam satu rajangan sama, daun yang dipanen hari itu harus tuntas dirajang semua, bagaimanapun banyaknya.
Setelah itu, daun-daun disusun pada nampan bambu berbentuk persegi panjang yang sering disebut ‘sasag’. Padanya, disusun tembakau yang menjadi ‘tonggong’ (bagian luar) dan ‘beuteung’ (bagian dalam). Umumnya, tembakau untuk tonggong dan beuteung berbeda. Tonggong lebih mulus ketimbang beuteung yang tersembunyi di tengah jalinan tembakau pada sasag.
Tembakau yang tersusun rapi lalu dijemur dengan cahaya matahari langsung. Jangan sampai jemuran tembakau ini terkena hujan. Air akan merusaknya dan terutama menghilangkan kadar nikotin pada tembakau.
Tembakau yang dinilai kering, keumuman warnanya kekuningan untuk tembakau mole Darmawangi, dan coklat padam untuk jenis-jenis Parugpug. Nama-mana itu sebenarnya nama daerah di mana tembakau ditanam.
Orang Sunda menghisap tembakau dengan cara linting, yaitu menggulung tembakau pada sesobek daun enau yang kering (kawung). Penggunaan daun jagung sebagai ‘kertas’ linting juga sering ditemukan. Namun lebih sering tembakau digulung seukuran lebih kecil dari rokok kretek dengan kertas sigaret.
Tembakau mole adalah tembakau murni. Rasa yang muncul dari pembakaran tembakau saat dihisap itu adalah murni rasa tembakau, bukan perasa seperti rasa jambu, mangga, dan rasa-rasa buatan kimiawi lainnya.
Rasa yang timbul pada tembakau mole juga tidak seragam. Beda pengolahan dan pengolah akan membuat rasa tembakau juga beda. Situasi cuaca yang diselingi hujan, akan membuat perbedaan pada rasa tembakau. Proses penyimpanan seperi ‘diunun’ atau diasapi dengan asap tungku selama beberapa bulan setelah proses jemur, akan juga menghasilkan rasa yang berbeda.
Namun, rasa-rasa tembakau mole yang unik dan beragam tersebut boleh dikatakan semuanya enak. Sebab, menurut kamus R.A. Danadibrata, bako yang tidak enak boleh jadi tidak akan dikatakan mole. Misalnya, akan dikatakan ‘bako sebul’, yaitu tembakau yang tidak enak dihisapnya.