Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar) berencana menambah jumlah rombongan belajar (rombel) dari semula 36 murid menjadi 50 murid. Kebijakan imi rencananya diberlakukan mulai tahun ajaran 2025/2026. Dosen Prodi Administrasi Pendidikan FIP UPI Cepi Triatna mengatakan riset terkait pengaruh jumlah murid per kelas menunjukkan kondisi yang tidak tidak seragam dari satu peneliti dengan peneliti lainnya, sehingga dapat dikatakan tidak konsisten.
Penelitian RJ Bosker (1998) terhadap 416 sekolah yang dipilih secara acak di Belanda yang memiliki kelas-kelas dengan ukuran kelas yang bervariasi secara signifikan, untuk memverifikasi hubungan antara kinerja dan ukuran kelas untuk kelas 2, 4, 6, dan 8. Menurut peneliti, temuan tersebut tidak terduga, murid di kelas yang lebih besar berprestasi lebih baik daripada mereka yang berada di kelas yang lebih kecil.
Penelitian Galton dan Pell (2012) di Hongkong, di mana jumlah rata-rata murid di 37 sekolah dasar sebelum penelitian adalah 38 murid per kelas, tetapi jumlah tersebut telah berkurang menjadi minimal 20 hingga maksimal 25 murid per kelas. Prestasi dalam mata pelajaran Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris, dan Matematika, yang diamati selama 3 tahun di Kelas 1 hingga Kelas 3, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Penelitian P Bressoux, L Lima, C Monsieur (2019) di Perancis terhadap total 100 kelas yang jumlah muridnya dikurangi menjadi rata-rata 10,5 murid per kelas dan 100 kelas lainnya dengan jumlah rata-rata 21,3 murid kemudian untuk menilai perubahan kinerja, kinerja murid dipantau selama 2 tahun dan hasil pengamatan menunjukkan pengurangan kelas berdampak positif pada kinerja hanya pada tahun pertama, pada tahun kedua, murid dari kelas yang lebih kecil kembali ke kelas yang lebih besar dan efek ini menghilang.
Riset lainnya menunjukkan kondisi yang berbeda, yaitu penelitian yang dilakukan oleh, survei pada proyek STAR di Tennessee AS, antara tahun 1985 dan 1989 untuk mengevaluasi kinerja murid selama perkembangan sekolah mereka. Menurut data dari laporan pers proyek yang diterbitkan pada tahun 1999, studi yang dilakukan dalam proyek STAR memantau kinerja sekelompok murid yang ditempatkan dari kelas tiga prasekolah (TK 3) di kelas kecil dan kelompok murid lain dari kelas reguler.
“Perbandingan kedua kelompok ini menunjukkan bahwa murid di kelas kecil berprestasi lebih baik daripada mereka yang berada di kelas besar. Baik peningkatan pembelajaran maupun perkembangan akademis diamati pada murid dari kelas kecil dan guru melaporkan peningkatan dalam dinamika pengajaran,” kata Cepi dalam keterangan tertulis yang diterima infoJabar, Selasa (8/7/2025).
Lalu, penelitian Program SAGE Wisconsin di AS yang didasarkan pada analisis kinerja murid dari taman kanak-kanak hingga kelas 3. Perbandingan dilakukan untuk mengukur kinerja dua kelompok, yaitu kelas memiliki hingga 18 murid dan dibandingkan dengan kelas reguler dalam matematika dan membaca. Program SAGE menemukan efek positif dan signifikan dalam membaca ketika diverifikasi di taman kanak-kanak, tetapi ini tidak terulang ketika matematika diverifikasi. Lebih lanjut, tinjauan dampak yang bertahan lama mengungkapkan bahwa murid yang berpartisipasi dalam proyek tersebut lebih mungkin untuk tetap bersekolah (E Graue, K Hatch, K Rao, D One, 2007).
“Artinya jumlah murid per kelas tidak konsisten dalam mempengaruhi kualitas pembelajaran dibandingkan jumlah murid per kelas karena ada banyak faktor lain yang akan mempengaruhi kualitas pembelajaran, khususnya pada variabel guru,” ungkapnya.
Kendala Guru
Dalam hal penambahan rombel dari semula 36 murid menjadi 50 murid, Cepi menyebut, tentunya bakal ada dampak atau risiko yang akan dirasakan oleh guru sebagai tenaga pendidik siswa di sekolah. “Risiko utama yang akan dirasakan yakni pembelajaran akan terkendala atau terhambat karena guru harus memberikan layanan kepada setiap peserta didik sesuai dengan karakteristiknya (dikenal dengan pembelajaran berdiferensiasi). Karena jumlah murid yang lebih banyak maka guru harus menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk memahami dan memberikan layanan yang lebih individual kepada setiap murid,” tuturnya.
Lalu menurut Cepi, murid akan merasa kurang nyaman untuk menempati ruang kelas dengan ukuran yang tidak sesuai (lebih kecil). Karena jumlah murid bertambah maka ruang gerak murid dalam kelas menjadi lebih sempit, sehingga akan membuat tidak nyaman dan berpotensi konflik dalam proses pembelajaran.
“Adapun dari sisi pedagogis, layanan guru akan cenderung disamakan kepada para murid dan kurang memperhatikan karakteristik individu. Dari sudut pandang psikologis, hal ini sangat berpotensi memunculkan konflik di antara murid, yaitu ketika ruang gerak anak tidak leluasa dan guru tidak mengaturnya secara sesuai,” tuturnya.
“Artinya ada risiko yang perlu dimitigasi oleh pembuat kebijakan jika jumlah murid per kelas akan diperbanyak, yaitu bagaimana layanan guru kepada murid sesuai dengan karakteristiknya, bagaimana memperkuat guru dalam mengelola kelas, dan bagaimana mencegah konflik antar murid selama pembelajaran, sehingga murid dan guru tidak merasa stres dalam melaksanakan proses pembelajaran tersebut,” tambahnya.
Menurut Cepi, pembelajaran berdiferensiasi adalah proses belajar mengajar dimana peserta didik dapat mempelajari materi pelajaran sesuai dengan kemampuan, apa yang disukai, dan kebutuhannya masing masing sehingga mereka tidak frustasi dan merasa gagal dalam pengalaman belajarnya, menurut Breaux dan Magee 2010; Fox & Hoffman, 2011; Tomlinson, 2017 di dalam buku Heny Kristiani dkk, (2021).
Cepi menduga, kebijakan itu akan turut mengurangi angka putus sekolah walaupun tidak sepenuhnya. Bagi murid yang putus sekolah karena masalah aksesibilitas ke sekolah, seperti jarak yang jauh ke sekolah, mahalnya biaya transportasi, sulitnya medan yang harus ditempuh ke lokasi sekolah, atau karena berbagai masalah akses lainnya maka kebijakan ini akan sangat membantu meningkatkan jumlah murid-murid yang tertampung di sekolah, sehingga angka putus sekolah menurun.
“Namun bagi anak-anak yang tidak sekolah karena faktor budaya, misal mendapatkan penghasilan tertentu, mengamen di jalanan, dan lain sebagainya, maka kebijakan ini tidak dapat memecahkan masalah tersebut. Jadi, kebijakan ini akan mengurangi masalah putus sekolah tetapi tidak sepenuhnya masalah ini akan terpecahkan karena ada faktor lain yang menyebabkan anak putus sekolah selain karena jarak rumah ke sekolah,” terangnya.
Menurut Cepi dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) dibutuhkan strategi yang dilakukan guru agar KBM tetap efektif. Selain itu, strategi sekolah yang dinilai efektif untuk memastikan pembelajaran tetap efektif dalam situasi kelas besar adalah memberikan penguatan motivasi dan keterampilan guru dalam menghadapi kelas besar.
“Motivasi guru perlu diperkuat karena bertambahnya jumlah murid di kelas akan berimplikasi pada berbagai layanan dalam mengelola kelas dan berisiko membuat stres guru, jika guru tidak siap dengan keterampilan yang harus dimiliki. Mitigasi akan hal ini dapat diperkuat dengan memberikan kesejahteraan yang lebih sesuai kepada guru dan memperhatikan variabel jumlah murid yang dilayani. Dari sisi keterampilan pembelajaran, guru harus dibekali bagaimana melakukan layanan pembelajaran kelas besar melalui kombinasi antara pembelajaran aktif, pembelajaran kooperatif/kolaboratif, dan penggunaan teknologi,” tuturnya.
Disinggung terkait apakah menurutnya di Jawa Barat ini lebih relevan tambah rombel atau membangun sekolah baru. Kedua hal tersebut menurut Cepi memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang.
“Apabila diperbandingkan antara menambah rombel dan membuat sekolah baru dalam memecahkan masalah angka putus sekolah maka keduanya memberikan solusi yang berdimensi waktu jangka pendek dan panjang. Menambah jumlah murid per rombel merupakan solusi jangka pendek yang harus disertai dengan penguatan motivasi dan keterampilan guru,” kata Cepi.
“Menambah sekolah baru merupakan solusi jangka panjang karena perwujudan sekolah baru perlu mempertimbangkan lokasi sekolah yang sesuai dengan kebutuhan hasil pemetaan dengan memperhatikan berbagai indikator, salah satunya lokasi tempat tinggal murid, lokasi sekolah lain, kondisi keamanan sekolah, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Namun menurut Cepi, kedua hal ini tidak bisa diperbandingkan tingkat efektifitasnya, karena yang satu merupakan solusi dengan dimensi waktu jangka pendek dan yang lain berdimensi jangka panjang. Artinya, penambahan jumlah murid per rombel ini merupakan solusi jangka pendek, bukan solusi jangka panjang. Untuk solusi jangka panjangnya adalah membangun sekolah-sekolah baru sesuai hasil pemetaan.
“Sebenarnya kami (para dosen di prodi Administrasi Pendidikan FIP UPI) telah merancang sebuah penelitian unggulan untuk menentukan lokasi sekolah berdasarkan hasil pemetaan dengan berbagai indikator pada tahun 2024, tetapi karena alasan pemecahan Kemendikbud Ristek menjadi tiga kementerian, rencana penelitian tersebut belum disesuaikan kembali dengan sistem baru di Kemendikti dan Ristek. Padahal hal ini dapat menjadi salah satu solusi untuk menentukan dimana lokasi sekolah baru akan dibangun,” tuturnya.
Dalam memastikan fasilitas pendukung dalam hal ini sarana dan prasarana, pemerintah daerah dan legislatif tingkat provinsi, kabupaten atau kota sangat memiliki peran dalam memberikan komitmennya kepada anak-anak usia sekolah melalui pelaksanaan penganggaran APBD minimal 20% untuk membiayai pendidikan, di luar pendidikan kedinasan. Selain itu alokasi APBD difokuskan pada pendidikan bermutu untuk semua, jangan hanya untuk sebagian atau sekelompok tertentu saja.
“Solusi jangka panjang untuk mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua adalah membangun sekolah-sekolah baru dan menertibkan pemberian izin pendirian sekolah baru berdasarkan hasil pemetaan terhadap data-data sejumlah indikator yang urgen pada lingkup Jawa Barat secara makro, per kabupaten atau kota secara meso, dan per kecamatan secara mikro, lalu memberikan penguatan keterampilan kepada seluruh guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah terkait bagaimana strategi untuk melaksanakan dan mengelola layanan pembelajaran pada kelas-kelas yang besar,” tuturnya.
“Mengembangkan sistem pendidikan yang lebih berbasis lingkungan supaya dapat memediasi proses pendidikan yang bermutu untuk semua sesuai dengan kebutuhan murid dan lingkungannya. Sehingga masalah sosial, budaya, ekonomi, dan lainya yang menyebabkan anak putus sekolah dapat ditangani secara komprehensif,” pungkasnya.