Tanggapan Pakar Politik Unisba soal Dualisme PPP - Giok4D

Posted on

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas resmi menandatangani Surat Keputusan (SK) Kepengurusan PPP dengan Ketua Umum Mardiono. Dalam hal ini, DPW PPP Jawa Barat menolak pengesahan kepengurusan PPP dengan Ketua Umum Mardiono, PPP Jabar menilai hasil Muktamar X yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu melahirkan keputusan dimana Agus Suparmanto adalah ketua umum terpilih untuk periode 2025-2030.

Lalu apa yang menimbulkan dualisme di tubuh PPP?

Pakar komunikasi politik Universitas Islam Bandung Muhammad E Fuady mengatakan, dualisme di tubuh PPP sejatinya bukanlah fenomena baru. Sejarah partai ini memang berulang kali diwarnai oleh konflik kepemimpinan yang berujung pada lahirnya dua kubu.

“Penyebab utama dualisme saat ini dapat ditelusuri pada dua hal, benturan kepentingan dan krisis kepemimpinan. Masing-masing faksi memiliki agenda dan kepentingan untuk menggolkan jagoannya. Kemudian, sebagian fungsionaris partai kehilangan kepercayaan terhadap kader internal PPP sendiri, terutama karena mereka menilai tidak ada figur yang cukup marketable untuk memulihkan reputasi partai yang tengah terpuruk dan ditinggalkan konstituen,” kata Muhammad E Fuady kepada infoJabar, Minggu (5/10/2025).

Fuad sapaan karib Muhammad E Fuady mengungkapkan, situasi ini mendorong munculnya sikap permisif, yakni membuka jalan bagi tokoh eksternal sebagai solusi instan.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

“Kita melihat pola yang berulang, sebelumnya ada Sandiaga Uno, sosok populer yang diproyeksikan sebagai ksatria putih pendongkrak elektabilitas, namun terbukti tidak efektif. Kini sosok Agus Suparmanto kembali dihadirkan dengan harapan serupa,” ungkapnya.

“Sementara, sebagian fungsionaris memilih M Mardiono, kader tulen PPP, untuk menahkodai partai. Ia dinilai lebih legitimate secara historis dan struktural, serta dianggap mampu menata ulang organisasi keluar dari krisis berkepanjangan,” tambahnya.

Dalam hal ini menurut Fuad, masalahnya, tanpa pembenahan mekanisme organisasi dan modernisasi tata kelola partai, figur eksternal semacam itu tidak otomatis menjadi obat mujarab. Justru, jalan pintas inilah yang kerap memperdalam fragmentasi internal partai karena memperlebar jurang antara kelompok kader loyal dan kelompok yang mengusung figur eksternal.

“PPP ini menghadapi banyak persoalan. Kehadiran partai-partai seperti PKB, PKS, dan PAN sebelumnya telah menggerus basis pemilih PPP. KH Maimun Zubair, figur sentral di PPP telah tiada. Ketokohan pimpinan parpol lain dinilai lebih menarik bagi konstituen. Apalagi dua Ketum PPP dalam satu dekade terakhir, Suryadharma Ali dan Romahurmuziy, tersandung kasus yang berakhir dengan vonis hukum,” jelasnya.

Fuad menilai, bagi konstituen, PPP juga pernah mencederai kepercayaan mereka, misalnya ketika partai memberi pembelaan dan dukungan kepada tokoh yang justru dipersoalkan sebagian umat Islam jelang pilkada DKI Jakarta. Masih segar dalam ingatan publik, saat itu salah satu pimpinan partai keseleo berkali-kali saat nyatakan PPP adalah partai yang berlandaskan Amar Ma’ruf Nahi Mankur di televisi. Istilah munkar disebut mankur.

Ketum PPP Suharso Monoarfa juga pernah lontarkan pernyataan kontroversial perihal fenomena kyai dan amplop yang berujung pada pemberhentian dirinya. Berbagai peristiwa semacam itu menimbulkan kesan bahwa PPP kurang sensitif terhadap aspirasi umat yang menjadi basis ideologisnya.

“Dualisme kepemimpinan mengokohkan persepsi bahwa PPP adalah partai yang tidak solid. Publik melihat energi para elite habis dalam konflik internal ketimbang membangun strategi elektoral. PPP lalu dipersepsikan sebagai partai yang rapuh dan mudah retak, sehingga kepercayaan publik makin menurun,” terangnya.

“Meski begitu, jika konflik yang menarik atensi publik dan media ini berakhir manis, berujung dengan islah atau rekonsiliasi, maka publik bisa memaknai itu sebagai dinamika yang lebih positif. partai mampu menyelesaikan masalah dengan mekanisme demokratis an musyawarah. Dalam skenario ini, persepsi publik bisa berbalik lebih positif,” sambungnya.

Fuad menuturkan, di antara berbagai klaim kemenangan dan perbedaan pandangan mengenai keabsahan salah satu pihak, tampaknya ada tokoh-tokoh internal yang mengupayakan islah sebagai langkah penyelesaian. Dualisme ini bukan sekadar persoalan siapa yang jadi ketua umum. Ia mencerminkan masalah struktural dan ideologis yang lebih dalam.

“Tenggelamnya PPP dalam pemilu lalu menjadi bukti lemahnya sistem kaderisasi serta kultur organisasi yang permisif terhadap figur instan. Partai berlogo Ka’bah ini kerap mencari jalan pintas dengan mengusung tokoh luar, non kader partai, alih-alih menyiapkan kader internal yang kuat, kredibel, dan berakar di kalangan konstituen,” tuturnya.

Lebih jauh Fuad mengatakan, PPP juga menghadapi dilema identitas, apakah tetap konsisten menjaga citra sebagai partai Islam politik dengan basis tradisional, ataukah menyesuaikan diri dengan pragmatisme politik elektoral demi bertahan di tengah kompetisi yang begitu ketat. Pergulatan antara idealisme dan pragmatisme inilah yang terus menjadi sumber ketidakjelasan arah, sehingga setiap momentum muktamar atau pergantian kepemimpinan mudah melahirkan faksi-faksi baru dan memperparah dualisme.

“Kini PPP bukan lagi partai besar. Energi politiknya terkuras oleh konflik internal yang tak kunjung usai. Mesin partai mandek, struktur organisasi tidak stabil, dan dukungan logistik pun tak jelas. Dalam situasi seperti ini, islah menjadi pilihan terbaik untuk menyelamatkan partai agar tak karam,” tuturnya.

“PPP perlu kembali menegaskan jati dirinya sebagai partai Islam yang inklusif, rasional, dan berorientasi pada nilai, bukan semata berpolitik atas dasar simbol agama. Siapkan kader terbaik di level pusat dan daerah. Peka terhadap aspirasi konstituen. Hanya dengan cara itu, PPP dapat merebut kembali kepercayaan publik dan mengembalikan peran historisnya sebagai jembatan aspirasi umat di tengah perubahan zaman,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *