Tampil Stylish dengan Tenun Gaya Kekinian

Posted on

Cahaya lampu gantung berpadu dengan alunan musik mengantar satu per satu model melangkah mantap di lintasan busana. Balutan kain tenun dengan sentuhan modern langsung menyita perhatian para tamu.

Di balik karya itu, ada tangan desainer Tenun Gaya, Wignyo Rahadi, yang mencoba membawa warisan lokal ke ranah mode kekinian.

“Penggunaannya wastra nusantara, kita gunakan motif dari berbagai daerah. Hari ini ada 30 look, 14 dipakai model profesional, sisanya oleh model dari Sukabumi,” ujar Wignyo saat ditemui infoJabar usai pergelaran, Selasa (9/9/2025) malam.

Menurutnya, melibatkan model lokal Sukabumi bukan sekadar strategi, melainkan bentuk dorongan agar masyarakat setempat semakin percaya diri mengenakan busana berbahan wastra.

“Saya ingin memberi motivasi, bahwa di Sukabumi pun bisa tampil anggun tanpa harus jadi model profesional,” katanya.

Keunikan karya Wignyo terletak pada motif khas dan kualitas kain yang lembut. Tak hanya menonjolkan tenun, ia juga memadukannya dengan kerajinan lain seperti songket dan sulam.

“Kain tenun itu luar biasa, bisa dipadupadankan. Setiap motif bahkan menyimpan cerita dan sejarahnya masing-masing,” jelasnya.

Meski proses pembuatan kain masih tradisional dan handmade, Wignyo merancang gaya yang tetap relevan dengan anak muda masa kini. “Konsepnya etnik modern. Walaupun kainnya tradisional, stylenya tetap mengikuti zaman,” tambahnya.

Soal harga, koleksi Tenun Gaya dibanderol beragam. Mulai Rp700 ribu, Rp1 juta, hingga Rp1,5 juta. Sementara untuk pesanan khusus atau custom, harga bisa menembus di atas Rp5 juta.

“Yang membuat mahal karena handmade, prosesnya lama, bahan bakunya juga khusus seperti sutera. Belum lagi motif dan padanan warna yang detail,” papar Wignyo.

Busana Tenun Gaya yang sudah melanglang buana ini kini bisa ditemukan di Kota Sukabumi tepatnya di Butik Tenun Gaya, Jalan Suryakencana, Kelurahan Selabatu, Kecamatan Cikole.

Di panggung malam itu, perpaduan tradisi dan modernitas terasa nyata. Tenun yang dulunya identik dengan busana adat kini tampil memukau dengan siluet kontemporer, membuktikan bahwa warisan lokal bisa tetap hidup di tengah gaya hidup kekinian.

Sejak mendirikan Tenun Gaya pada tahun 2000, Wignyo memilih jalur berbeda. Ia tak sekadar membeli kain batik atau tenun lalu menjadikannya busana, tapi ikut terlibat dari hulu. Dari pewarnaan benang, pembuatan motif, hingga menjadi kain dan busana siap pakai.

“Karena itu busana yang saya tampilkan bisa bercerita, memperkuat identitas kearifan lokal,” jelasnya.

Tak heran, produk Tenun Gaya memiliki ciri khas yang langsung dikenali pencinta wastra. Prosesnya pun rumit. Ada motif yang hanya bisa ditenun 5-6 sentimeter per hari, ada juga yang mencapai 1 meter. Jumlah tenaga kerja yang pernah mencapai 250 orang sebelum pandemi kini tersisa sekitar 150 orang.

Capaian Wignyo bukan main-main. Pada 2004, ia dipercaya membuatkan busana untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarga. Karya ‘kemeja tenun SBY’ pun melekat hingga kini. Sejumlah pejabat dan istri menteri juga masih setia mengenakan rancangannya.

Pasarnya tidak hanya di Jakarta, tetapi juga menjangkau Tokyo, Singapura, hingga panggung mode Eropa. Terakhir, Tenun Gaya tampil di Paris pada 2024.

“Target market memang menengah ke atas, sesuai kualitasnya. Kalau custom bisa di atas Rp5 juta karena prosesnya handmade dan bahan bakunya khusus seperti sutera,” terang Wignyo.

Perjalanan Wignyo mengenal tenun bermula sejak 1995 saat ia bekerja di industri benang sutera. Sering berinteraksi dengan perajin batik dan tenun membuatnya jatuh cinta pada karakter wastra. Dari situ lahirlah inovasi motif tenun ATBM (alat tenun bukan mesin) seperti anyaman bintik, salur bintik, hingga benang putus yang kini jadi ciri khas Tenun Gaya.

Konsistensi ini berbuah penghargaan. Tahun 2014, ia menerima UPAKARTI kategori Jasa Pengabdian, disusul penghargaan One Village One Product (OVOP) bintang empat dari Kemenperin pada 2015. Tak hanya itu, Wignyo aktif merevitalisasi berbagai tenun tradisional di Indonesia, mulai dari Tenun Masalili, Tenun Wakatobi, Tenun Tanimbar, hingga Ulos Sibolga.

Langkah panjang Wignyo Rahadi menunjukkan bahwa tenun bukan sekadar kain tradisi, melainkan media bercerita. Dari benang yang dirangkai di Sukabumi, kisah kearifan lokal Indonesia kini bisa berjalan di panggung mode dunia.

Angkat Tenun ke Panggung Dunia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *