Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei terbaru mereka terkait evaluasi publik terhadap kinerja pemerintah provinsi (Pemprov) di berbagai bidang urusan wajib.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Hasilnya menunjukkan mayoritas responden di berbagai provinsi merasa cukup puas dengan kinerja Pemprov masing-masing. Namun, survei ini juga menyoroti adanya kesenjangan menarik antara persepsi terhadap institusi dan pemimpinnya.
“Umumnya, masyarakat menilai kinerja pemerintah provinsi cukup positif. Tapi ketika kita telaah lebih dalam, ada beberapa isu spesifik yang ternyata belum terlalu memuaskan publik,” kata Adam Kamil, Direktur Riset Indikator Politik Indonesia dalam rilis yang disiarkan di YouTube Indikator, Rabu (28/5/2025).
Salah satu temuan menarik dari rilis itu datang dari Provinsi Jawa Barat. Meskipun secara umum masyarakat mengapresiasi kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai gubernur, namun ketika diminta menilai kinerja Pemprov dalam berbagai bidang, hasilnya tidak selalu sejalan.
“Di Jawa Barat, kalau dilihat beberapa poin yang kurang meyakinkan evaluasi publiknya selain masalah kemiskinan 42 persen itu cukup atau sangat puas, ada juga masalah kemudahan akses permodalan 43 persen, pembinaan koperasi 43 persen dan peningkatan kualitas tenaga kerja 47 persen,” ujar Adam.
Padahal, jika dilihat dari aspek popularitas dan penerimaan publik terhadap sosok Dedi Mulyadi, hasil survei menunjukkan tingkat kepuasan yang sangat mencolok. Hal ini menunjukkan bahwa warga Jawa Barat cenderung memisahkan penilaian antara institusi Pemprov dengan figur pemimpinnya.
“Ternyata juga cukup banyak bahkan lebih banyak dari Jakarta. Padahal kita lihat kepuasan terhadap kinerja gubernur mencolok, Pak Dedi Mulyadi ini,” ungkapnya.
Fenomena ini turut diamini oleh Founder dan Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi yang menilai ada gape dalam penilaian publik terhadap kinerja pemimpin dan pemerintah provinsi di Jawa Barat.
“Jawa barat menarik, persepsi terhadap gubernur Dedi Mulyadi sangat positif, tetapi kinerja pemprov di beberapa isu di bawah 50 persen. Artinya sepertinya warga Jabar itu memberi kredit Dedi Mulyadi sebagai gubernur, tetapi kinerja Pemprov-nya tidak seluruhnya diapresiasi,” ucap Burhanuddin.
Ia menyebut adanya gap persepsi dalam kasus-kasus semacam ini, tidak hanya terjadi di Jawa Barat. Dalam beberapa provinsi lain, fenomena serupa juga muncul, meski tidak setajam di Jabar. Yang paling menonjol, kata Burhanuddin, adalah selisih drastis antara tingkat kepuasan terhadap gubernur dan wakil gubernur yang bisa mencapai 30 persen.
“Tapi umumnya kalau kinerja pemprov evaluasi kurang positif, kinerja gubernurnya juga seperti Banten, konsisten tu antara kinerja pemprov dengan gubernur kurang lebih cukup negatif,” ungkapnya.
Menurut Burhanuddin, ada faktor partisan yang berperan dalam mempengaruhi persepsi publik. Selain itu, terdapat pula kecenderungan publik untuk hanya memuja pemimpinnya sambil mengabaikan kinerja institusinya.
“Ada efek partisan yang membuat mereka tidak menyalahkan pemimpinnya. Padahal sebagai pemimpin tidak bisa dipisahkan dari tugasnya untuk mengkonsolidasi birokrasinya, yang disalahkan menterinya, yang disalahkan pemprovnya,” jelasnya.
“Ini menurut saya kurang positif untuk positif untuk demokrasi kita karena kita jangan sampai memunculkan kultus. Makanya kalau ada kinerja institusi yang tidak positif, pemimpinnya juga harus dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya.