Kinerja Wali Kota Bandung Muhammad Farhan dan Wakil Wali Kota Bandung Erwin dinilai belum dapat memenuhi ekspektasi publik dalam 100 hari pertama kepemimpinan mereka. Hasil survei terbaru yang dirilis Parameter Konsultindo mengungkap bahwa sebagian besar warga Kota Bandung merasa belum puas terhadap kinerja maupun pendekatan kepemimpinan yang diterapkan keduanya.
Survei ini dilaksanakan selama delapan hari, yakni pada 3-10 Mei 2025. Responden yang terlibat sebanyak 485 orang, yang berasal dari seluruh kategori usia penduduk dewasa. Mulai dari usia 17 tahun hingga di atas 75 tahun.
Adapun responden tersebar di 104 kelurahan dari 24 kecamatan. Metodologi yang digunakan adalah multistage random sampling dengan tingkat margin of error sebesar ±4,5 persen.
Salah satu temuan survei tersebut menyatakan bahwa sebanyak 41,2 persen warga Kota Bandung menilai gaya kepemimpinan Farhan-Erwin kurang sesuai dengan harapan mereka dalam 100 hari pertama ini.
Terdapat 38,8 persen yang menganggap gaya kepemimpinan keduanya sudah sesuai harapan. Sisanya terbagi dalam kategori tidak tahu atau tidak menjawab (13,4 persen), tidak sesuai harapan (5,2 persen), dan sangat sesuai harapan (1,4 persen).
Hal yang tidak jauh berbeda juga tercermin dari survei terhadap kepuasan terhadap kinerja Farhan-Erwin. Mayoritas responden yakni sebesar 30,7 persen menyatakan kurang puas terhadap kinerja Farhan-Erwin sejauh ini.
Sebanyak 25,5 persen menyatakan puas, dan 16,9 persen menjawab tidak puas. Adapun 16,7 persen menjawab cukup puas, 8,5 persen tidak tahu/tidak menjawab, dan hanya 1,7 persen yang menjawab sangat puas.
CEO Parameter Konsultindo Agus Wibowo menyatakan bahwa temuan ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat dan realisasi program dan pendekatan kepemimpinan yang diambil. Sehingga, evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan.
“Kepemimpinan Farhan-Erwin dinilai belum memenuhi ekspektasi masyarakat. Ini menandakan perlunya evaluasi dan penyesuaian kebijakan agar selaras dengan kebutuhan warga,” ujar Agus, Senin (2/6/2025).
Dari hasil survei, diketahui bahwa masalah pengelolaan sampah menjadi persoalan paling mendesak yang dirasakan warga Kota Bandung. Sebanyak 29,3 persen responden menyebut persoalan sampah sebagai masalah utama yang dirasakan di lingkungan tempat tinggal mereka.
Setelah sampah, isu kedua yang dinilai paling krusial bagi warga Kota Bandung adalah pengangguran. Sebanyak 22,9 persen responden menilai masalah tingginya angka pengangguran di Kota Bandung sebagai hal yang harus segera dibenahi.
Masalah lain yang turut disoroti warga adalah kondisi ekonomi saat ini (11,8 persen), kemacetan lalu lintas (9,7 persen), infrastruktur dan banjir (7,6 persen), keamanan dan ketertiban (6,2 persen), pendidikan dan SDM (4,7 persen), pelayanan kesehatan (4,3 persen), tata ruang dan ruang terbuka hijau (2,1 persen), serta reformasi birokrasi (1,4 persen).
Selain itu, masyarakat juga menyoroti program-program unggulan Farhan-Erwin yang menurut mereka harus segera direalisasikan. Di antara janji-janji kampanye keduanya, program penciptaan 15 ribu lapangan pekerjaan adalah hal yang dinilai paling mendesak untuk diwujudkan.
Isu ini dipilih oleh 27,4 persen responden. Agus mengatakan, dapat disimpulkan bahwa isu pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja termasuk sebagai masalah krusial yang sedang dihadapi Kota Bandung.
“Artinya, bagi masyarakat Kota Bandung, lapangan pekerjaan itu penting. Hampir satu makna dengan masalah pengangguran. Jadi sebenarnya, masalah Kota Bandung yang paling utama itu saat ini ada dua. Pertama sampah, dan kedua masalah ekonomi,” terangnya.
Setelah program penciptaan lapangan kerja, program unggulan kedua yang dinilai perlu segera direalisasi adalah penanggulangan sampah yang bertajuk “Sampah Hari Ini Habis Hari Ini”. Sebanyak 23,7 persen responden menilai hal ini adalah yang paling mendesak untuk diwujudkan.
Program lainnya yang dianggap prioritas antara lain 30 UMKM Center (11,3 persen), Bandung Anti Premanisme (9,5 persen), Puskesmas Utama 24 Jam (6,8 persen), Infrastruktur dan pengendalian banjir (6,4 persen), program Bandung Caang (6 persen), PPIPK 1 Miliar selama 5 tahun (4,3 persen), pengembangan transportasi umum (2,7 persen), dan program Jabatan Nol Rupiah (1,9 persen).
“Kontrol sosial dari masyarakat sangat penting. Tanpa tekanan publik, pemerintah bisa saja berjalan dengan pola dan gaya sendiri yang belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat,” ujar Agus menambahkan.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Sementara itu, akademisi Ekonomi Pembangunan Universitas Padjadjaran, Viktor Pirmanan mengungkapkan adanya fenomena “KDM Effect”, yakni pengaruh gaya kepemimpinan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terhadap penilaian masyarakat kepada kepala daerah di level kota/kabupaten.
Ia menilai KDM alias Kang Dedi Mulyadi telah menjadi sosok yang dijadikan tolak ukur atau benchmarking oleh masyarakat terhadap kepala daerah lainnya di Jawa Barat. Gaya komunikasinya yang populis dan kehadirannya yang kuat di media menjadikan kepala daerah lain terkesan ‘tertinggal’. Hal ini, ia menilai, sedikit dapat memengaruhi persepsi warga Kota Bandung terhadap kinerja Farhan dan Erwin.
“Secara psikologis, ada sedikit banyak ‘KDM effect’ dari gaya populis gubernur yang menjadi ‘media darling’, terhadap penilaian masyarakat di Jawa Barat ke kepala daerahnya. Mereka menjadikan KDM sebagai perbandingan,” ungkapnya.