Solusi ‘Palsu’ Pengolahan Sampah di Bandung Raya

Posted on

Wilayah Bandung Raya kini sedang menghadapi potensi ledakan sampah. Masalah ini muncul setelah TPA Sarimukti yang berlokasi di Kabupaten Bandung Barat (KBB), sudah kelebihan kapasitas dan diprediksi tidak akan mampu bertahan lama untuk menampung lagi sampah.

Untuk menghadapi ancaman itu, pemerintah daerah di Bandung Raya pun mulai gencar melakukan upaya penanganan. Sejumlah cara dilakukan dengan menyediakan alat seperti insinerator, refuse-derived fuel (RDF) atau mengolah sampah menjadi bahan bakar jumputan seperti arang, hingga pirolisis atau mengolah sampah menjadi bahan bakar minyak cair.

Yang sedang digencarkan saat ini adalah dengan menyediakan alat pengolah sampah bernama insinerator. Alat ini dianggap pemerintah daerah paling efektif dalam menangani sampah, karena hanya dilakukan dengan cara dibakar, tapi diklaim dijalankan secara ketat dan sesuai aturan.

Namun, cara-cara penanggulangan sampah yang dilakukan pemerintah di Bandung Raya saat ini dinilai hanya menjadi solusi ‘palsu’. Pasalnya, solusi-solusi tersebut diyakini bakal menimbulkan masalah baru seperti polusi hingga emisi yang mencemari lingkungan.

Dalam perbincangannya bersama infoJabar, Toxics & Zero Waste Program Manager Nexus3 Foundation Nindhita Proboretno mengatakan, dalam menanggulangi masalah sampah, pemerintah daerah di Bandung Raya justru terkesan ingin membuat solusi yang instan. Akhirnya, timbul masalah karena solusi tersebut justru dikeluarkan tanpa memperhatikan standarisasi yang ketat di lapangan.

“Jadi kita tuh akhir-akhir ini melihat pemerintah untuk mengatasi permasalahan sampah malah membuat solusi instan. Pengen sampah tuh sesegera mungkin hilang dari pandangan. Akhirnya kebijakan yang diambil misalnya menggunakan insenator yang skalanya justru kecil, yang mana di Bandung Raya ini massif banget dilakukan,” katanya, Sabtu (4/10/2025).

Sebagai langkah instan, Nindhita membeberkan, bahwa insinerator yang disiapkan justru dibuat tanpa memperhatikan aturan yang ketat. Yang terjadi kemudian malah, insinerator ini jadi alat-alat tungku pembakaran terbuka yang sisa asapnya kemudian tersebar ke mana-mana.

“Di setiap RW atau kelurahan tuh pasti ada gitu yang kecil-kecil insineratornya, itu bagi kami bukan insinerator, cuma pembakaran terbuka di dalam wadah aja,” ungkapnya.

“Nah itu yang menurut kita penting bahwa narasi yang keluar selama ini kita tuh tahunya (insinerator) positif, bisa mengatasi sampah dan sebagainya. Padahal kan gak sesimpel itu masalahnya. Banyak hal kasat mata yang kita enggak lihat. Seperti pencemarannya, terus biayanya juga tinggi, dan sebagainya,” bebernya.

Selama ini, kata Nindhita, pemerintah daerah di Bandung Raya kerap mengklaim bahwa insinerator aman untuk polusi lingkungan. Namun, perempuan yang menjabat sebagai National Co-Coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia tersebut meragukan klaim itu karena pemerintah tidak pernah membuka data soal masalah potensi pencemaran lingkungannya.

“Itu yang paling penting, kalau misalkan mereka klaim, yaudah mana datanya. Karena data itu bisa kita cek, ternyata yang dianalisa cuma logam beratnya aja, sementara dioksinnya enggak ada. Nah orang awam kan enggak begitu paham soal ini, itu yang mau kita kritisi bener enggak alatnya aman,” ujarnya.

Nindhita pun menyadari ancaman masalah sampah tidak langsung bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang instan. Untuk itu, ia mendesak pemerintah daerah di Bandung Raya untuk memulai kembali gerakan bagi masyarakat agar memilah sampah organik dan anorganik dari rumah, sekaligus mengedukasi pentingnya penanganan sampah tersebut dari hulunya.

“Solusi-solusi itu kan terkesannya megah banget yah, pemerintahnya pengen buru-buru menghilangkan sampahnya itu. Pokoknya mereka tuh mencari akal, gimana sampah ini hilang. Cuma masalahnya, mau sampai kapan kita nyelesaian ini. Kenapa kita enggak fokus di hulunya,” katanya.

“Dulu kita udah bilang, sampah tuh harus dipilah. Harus diurus dari sumber, dibuat sistemnya. Masyarakat harus dikasih tahu kapan ngambil sampahnya. Terkadang, masyarakat justru yang selalu disalahin. Ini kan karena enggak ada sistem yang memadai. Makanya, pengolahan sampah itu harus dari hulu, masyarakatnya harus diedukasi,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *