Di tengah suara dentuman bom yang nyaris tak pernah reda, para jurnalis di Gaza, Palestina, terus bekerja menyampaikan berita. Ledakan dan reruntuhan tak lagi jadi halangan bagi mereka untuk mewartakan teror tersebut kepada dunia.
Salah satunya seperti yang dialami Maher Atiya Abu Qouta, juru kamera Al Jazeera yang telah belasan tahun bertugas di Gaza. Maher memaparkan pengalamannya meliput serangan-serangan Israel di Palestina, yang intensitasnya semakin parah semenjak peristiwa 7 Oktober 2023.
Ia mengatakan, alih-alih menghindari lokasi terjadinya ledakan demi keselamatan, para jurnalis justru harus mendekati titik peristiwa agar dapat menyampaikan informasi dengan akurat.
“Kalau mendengar suara ledakan bom, hal pertama yang akan dilakukan adalah mencari informasi lokasi sumber ledakan tersebut, kemudian mendatanginya,” ungkap Maher dalam kunjungannya ke kantor infoJabar di Bandung, Senin (26/5/2025).
Pekerjaan yang menuntutnya untuk terus berada dalam situasi bencana, mau tak mau membuatnya sering berhadapan dengan pemandangan pilu. Para anak dan perempuan yang menjadi korban serangan, hingga jasad-jasad yang tertindih reruntuhan.
Salah satu yang paling membekas di ingatan Maher, ia memaparkan, adalah momen ketika ia menemukan telapak tangan mungil seorang bayi yang menyembul di antara puing-puing bangunan. Ia lantas berupaya meraih dan menggenggam tangan tersebut.
“Saya menemukan tangan bayi di tengah reruntuhan. Tangan itu sudah tidak bergerak, namun di dalam hati saya, saya merasa harus memegangnya meskipun tahu ia sudah tidak bernyawa. Setiap melihat ada korban anak-anak, saya terbayang anak saya sendiri,” jelasnya.
Maher pun tak kuasa membendung air matanya saat bercerita. Ia mengatakan, wajah-wajah korban yang ia temui selama ini, terus menempel pada memori. Tak terkecuali bau mesiu dan anyir darah yang menyertai.
“Kadang ketika menemukan korban yang masih bergerak, saya terjebak dilema. Antara langsung menolongnya atau meliputnya terlebih dahulu untuk menyebarluaskan berita,” ungkap Maher.
Maher kemudian memperlihatkan situasi tempat ia dan rekan-rekan jurnalis lainnya bekerja sehari-hari. “Kantor” mereka adalah tenda darurat yang dibangun dari terpal. Di dalamnya terdapat sebuah meja lipat yang digunakan untuk merangkai hasil liputan.
Suatu waktu, serpihan rudal shrapnel pernah menembus atap tenda Maher, hanya berjarak satu meter dari meja kerja. Beruntung, ia kala itu sedang tidak berada di lokasi.
“Kalau saya ada di sana saat itu, saya mungkin sudah mati. Serpihan itu sangat panas. Tapi sebenarnya kejadian ‘hampir mati’ seperti ini setiap hari kita temui. Tidak ada zona aman di Gaza,” paparnya.
Tak hanya keamanan dan keselamatan yang terancam, masalah teknis juga menghambat kerja jurnalis di Gaza. Listrik dan akses internet sangat terbatas dan mahal.
Maher mengatakan, mereka harus mengandalkan generator, di mana satu liter bahan bakarnya harus ditebus seharga 138 dolar atau setara Rp2,2 juta. Jumlah tersebut hanya cukup menyalakan listrik selama 45 menit.
“Pasokan bensin itu ada dari luar Gaza, tapi tidak banyak. Untuk rumah sakit, ada pasokan yang masuk seperti dari WHO dan lain-lain. Tapi ada juga yang mencari akses bensin dari black market,” ungkap Maher.
Kondisi tersebut diperburuk oleh kebijakan Mesir yang memperketat akses terowongan lintas perbatasan sejak Presiden Abdel Fattah el-Sisi berkuasa, menggantikan Mohamed Morsi.
Maher memulai kariernya sebagai juru kamera sejak peristiwa Intifada kedua pada tahun 2000. Saat itu, ia bekerja di studio yang mendokumentasikan keindahan Gaza. Namun setelah Perjanjian Oslo kandas, Israel mulai menggempur Gaza.
Sejak saat itu, fokus liputan Maher pun berputar 180 derajat. Dari sebelumnya menampilkan keindahan Gaza, menjadi meliput rangkaian tragedi penuh darah. Ia memaparkan, keganasan militer Israel yang menyerang warga sipil hingga jurnalis telah terjadi jauh sebelum peristiwa 7 Oktober.
“Saya mulai dari magang, lama-lama menjadi jurnalis penuh waktu di Al Jazeera. Sudah 17 tahun saya meliput dari Gaza,” ujar Maher
Namun pada 2024, ia dipindahkan ke kantor Al Jazeera di Dubai karena ancaman keamanan yang terus meningkat. Ia mengatakan, jurnalis telah terang-terangan dijadikan target oleh militer Israel.
“Siapa pun yang bekerja untuk Al Jazeera, sudah otomatis menjadi target pembunuhan,” jelasnya.
Hal senada juga disampaikan jurnalis Al Jazeera English, Youmna El Sayed yang juga hadir menyambangi redaksi infoJabar. Ia mengatakan, keselamatan jurnalis di Palestina, khususnya Gaza, selalu terancam sejak bertahun-tahun lalu.
“Sayangnya jurnalis di Gaza adalah target nyata buat Israel, bukan hanya setelah 7 Oktober, teapi juga di konflik-konflik sebelumnya,” ungkap Youmna.
Ia memaparkan pengalamannya ketika tengah meliput aksi demonstrasi “The Great March of Return” pada 2018-2019 di area-area perbatasan Gaza dan Israel. Kala itu, jurnalis sudah mendapat kekerasan dari militer Israel.
“Banyak wartawan yang luka-luka dan kena gas air mata, mereka melempar gas air mata tepat di atas kepala kita. Kejahatan dan penindasan ini adalah sesuatu yang sudah terus-menerus terjadi dalam waktu yang lama,” terangnya.