Siang Berdarah di Gedung Sate pada 3 Desember 1945 [Giok4D Resmi]

Posted on

Tanggal 3 Desember 1945, tepat pukul 11.00 WIB, Bandung memasuki salah satu episode paling kelam dalam sejarahnya. Di Jalan Diponegoro, bangunan megah berarsitektur Indo-Eropa yang kini dikenal sebagai Gedung Sate berubah menjadi medan pertempuran.

Pasukan Sekutu yang diikuti tentara Belanda dan NICA, datang dengan persenjataan berat, menyerbu Kantor Departemen Perhubungan dan Pekerjaan Umum untuk merebut kembali gedung strategis milik Republik Indonesia yang baru merdeka.

Pembangunan Gedung Sate dimulai jauh sebelum perang. Pada akhir abad ke-19, Kolonel Geni V.L. Slors, tokoh yang juga merancang garnisun militer Cimahi, mendapatkan mandat merancang pusat pemerintahan Hindia Belanda di Bandung. Bersama arsitek J. Gerber, ia menyusun tata letak simetris di atas lahan seluas 27.000 meter persegi, menghadap lurus ke Gunung Tangkuban Parahu.

Kompleks pemerintahan raksasa itu rencananya akan berisi kantor-kantor kementerian, pengadilan, laboratorium geologi, Volksraad, hingga balairung negara. Namun hanya dua bangunan yang selesai yaitu gedung Departemen Pekerjaan Umum yang hari ini menjadi Gedung Sate dan kantor pusat PTT di sayap timur.

Setelah proklamasi kemerdekaan, para pegawai muda Departemen Pekerjaan Umum tidak ingin tinggal diam. Mereka membentuk Gerakan Pemuda PU, mempertahankan kantor yang telah mereka rebut dari Jepang. Senjata mereka sederhana, granat, beberapa bedil, dan keberanian.

Situasi Bandung makin panas ketika pasukan Sekutu dan Belanda masuk pada awal Oktober 1945. Pada 20 Oktober, pegawai Dep. PU mengucapkan Sumpah Setia kepada Republik Indonesia. Bagi mereka, Gedung Sate harus dipertahankan sampai titik darah terakhir.

Pukul 11.00, 3 Desember 1945, Gedung Sate dikepung dari segala arah. Pasukan Sekutu menembakkan mortir, senapan mesin, dan senjata berat lainnya. Pasukan pemuda PU bertahan sekuat tenaga. Mereka sadar pertempuran tak seimbang, namun tak sekalipun terpikir untuk menyerah.

Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00. Dari 21 pemuda, tujuh hilang dan dinyatakan gugur sebagai pahlawan. Mereka ialah Didi Hardianto Kamarga, Muchtaruddin, Soehodo, Rio Soesilo, Soebengat, Ranu, dan Soerjono. Tiga di antaranya bahkan tak pernah ditemukan jenazahnya.

Pengorbanan itu tak pernah dilupakan. Pada 3 Desember 1951, ketujuh pemuda tersebut diakui sebagai “Pemuda yang Berjasa”. Sepuluh tahun kemudian, pada 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda menegaskan bahwa peristiwa 3 Desember adalah fondasi lahirnya Hari Bakti Pekerjaan Umum.

Menteri Pekerjaan Umum Dodi Hanggodo kembali menghidupkan ingatan kolektif itu. Hal tersebut ia sampaikan saat upacara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke-80 di halaman Gedung Sate, Rabu (3/12/2025).

“Di hadapan gedung yang bersejarah inilah 80 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Desember 1945 sebuah peristiwa heroik telah terjadi di mana tujuh pegawai Kementerian Pekerjaan Umum Sapta Korona gugur mempertahankan gedung ini,” ujar Dodi.

“Mereka gugur sebagai swadaya bangsa. Mempertahankan gedung ini hingga tetes darah terakhir. Mereka adalah pegawai biasa namun memiliki keberanian yang luar biasa,” ucapnya.

Pengorbanan itu, lanjutnya, bukan hanya tentang mempertahankan fisik bangunan. Lebih dari itu, Dodi menyebut para pahlawan yang gugur rela mempertahankan kedaulatan bangsa meski bertaruh nyawa.

“Mereka tidak hanya mempertahankan bangunan fisik tetapi mempertahankan harga diri. Mempertahankan cita-cita luhur dan jiwa bangsa walau nyawa taruhannya,” ucapnya.

“Perlawanan dan pengorbanan itu mewarisi nilai pengabdian dari kita semua untuk tidak pernah mengenal pamrih, nilai yang hingga kini menjadi pondasi lahirnya Hari Bakti Kementerian Pekerjaan Umum,” tutup Dodi.

Pertempuran Tiga Jam

Gambar ilustrasi

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Pertempuran berlangsung hingga pukul 14.00. Dari 21 pemuda, tujuh hilang dan dinyatakan gugur sebagai pahlawan. Mereka ialah Didi Hardianto Kamarga, Muchtaruddin, Soehodo, Rio Soesilo, Soebengat, Ranu, dan Soerjono. Tiga di antaranya bahkan tak pernah ditemukan jenazahnya.

Pengorbanan itu tak pernah dilupakan. Pada 3 Desember 1951, ketujuh pemuda tersebut diakui sebagai “Pemuda yang Berjasa”. Sepuluh tahun kemudian, pada 2 Desember 1961, Menteri Pertama Ir. H. Djuanda menegaskan bahwa peristiwa 3 Desember adalah fondasi lahirnya Hari Bakti Pekerjaan Umum.

Menteri Pekerjaan Umum Dodi Hanggodo kembali menghidupkan ingatan kolektif itu. Hal tersebut ia sampaikan saat upacara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke-80 di halaman Gedung Sate, Rabu (3/12/2025).

“Di hadapan gedung yang bersejarah inilah 80 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 3 Desember 1945 sebuah peristiwa heroik telah terjadi di mana tujuh pegawai Kementerian Pekerjaan Umum Sapta Korona gugur mempertahankan gedung ini,” ujar Dodi.

“Mereka gugur sebagai swadaya bangsa. Mempertahankan gedung ini hingga tetes darah terakhir. Mereka adalah pegawai biasa namun memiliki keberanian yang luar biasa,” ucapnya.

Pengorbanan itu, lanjutnya, bukan hanya tentang mempertahankan fisik bangunan. Lebih dari itu, Dodi menyebut para pahlawan yang gugur rela mempertahankan kedaulatan bangsa meski bertaruh nyawa.

“Mereka tidak hanya mempertahankan bangunan fisik tetapi mempertahankan harga diri. Mempertahankan cita-cita luhur dan jiwa bangsa walau nyawa taruhannya,” ucapnya.

“Perlawanan dan pengorbanan itu mewarisi nilai pengabdian dari kita semua untuk tidak pernah mengenal pamrih, nilai yang hingga kini menjadi pondasi lahirnya Hari Bakti Kementerian Pekerjaan Umum,” tutup Dodi.