Angin sejuk Kota Bandung menyapa wajah ketika bus wisata berwarna-warni itu mulai bergerak pelan meninggalkan halte Alun-Alun. Bukan sekadar moda transportasi, Bandung Tour on Bus atau yang populer disebut Bandros, membawa wisatawan menyusuri jejak sejarah kolonial Kota Kembang.
Kali ini infoJabar berkesempatan menyusuri Kota Bandung dengan menaiki Bandros. Melalui rute khusus yang melintasi kawasan Asia Afrika hingga Riau, perjalanan ini mengulas gedung-gedung cagar budaya yang menyimpan sejarah lahirnya Kota Bandung.
Bus berbelok ke Jalan Banceuy, kawasan yang dulunya dikenal sebagai Oude Kerkhoff (kuburan lama) dan pemukiman etnis Tionghoa. Namun, narasi paling emosional di jalan ini adalah situs eks Penjara Banceuy.
“Di sini terdapat penjara Banceuy, dulu Soekarno sempat ditahan di sel ini selama 1,5 tahun,” ucap pemandu wisata Bandros.
Di sel nomor 5 yang sempit dan pengap, Ir. Soekarno ditahan oleh pemerintah kolonial.
Perjalanan berlanjut melintasi struktur melengkung di atas jalan raya yang dikenal sebagai Viaduct. Viaduct sejatinya adalah jembatan kereta api aktif. Struktur melengkung ini berfungsi memisahkan lalu lintas rel dari jalan raya di bawahnya (yakni Jl. Perintis Kemerdekaan dan Jl. Suniaraja).
Memasuki Jalan Perintis Kemerdekaan, penumpang melihat Gedung Indonesia Menggugat (dahulu Landraad). Di gedung pengadilan inilah Soekarno membacakan pembelaan yang telah ia susun di Banceuy, sebuah momen penting dalam sejarah pergerakan nasional.
Salah satu sorotan utama dalam rute ini adalah kawasan militer di Jalan Aceh, Jalan Kalimantan, dan sekitarnya. Di sini berdiri Markas Kodam III/Siliwangi.
Mulanya, gedung ini bernama Departement van Oorlog (Departemen Peperangan/Pertahanan). Masyarakat lokal saat itu menyebutnya Gedung Sabau.
“Ini markas Kodam III/Siliwangi dulunya adalah markasnya orang Belanda. Disebutnya van Oorlog,” tutur pemandu wisata.
Tak jauh dari sana, terdapat kompleks Kologdam yang dulunya merupakan Jaarbeurs (Bursa Tahunan).
Gedung Jaarbeurs dahulu adalah pusat pameran dagang dan hiburan bergengsi, tempat kaum elit Eropa bersosialisasi dan memamerkan produk industri terbaru.
Bandung tidak hanya soal gedung pemerintahan, tetapi juga kisah urban dan gaya hidup. Saat melintasi Jalan Aceh, Bandros melewati sebuah rumah dengan arsitektur Indische yang kini beralih fungsi menjadi restoran. Tempat ini populer dengan sebutan “Rumah Kentang”.
“Dulu bangunan ini dianggap angker, sampai dijadikan film. Karena katanya suka tercium bau kentang. Tapi sekarang sudah berubah menjadi kafe,” tutur pemandu wisata.
Menjelang akhir rute, Bandros melintasi Jalan Tamblong. Nama Tamblong diambil dari sejarah. Nama Tamblong diambil dari nama keluarga Tionghoa terkemuka, Tan Long (atau Tam Long).
Tan Long adalah seorang pengusaha mebel yang sukses pada masa kolonial. Ada narasi yang beredar bahwa Tan Long berjasa menyiapkan meja untuk Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955.
“Nama Tamblong diabadikan menjadi nama jalan karena jasanya pada masa itu. Ia menyiapkan meja untuk Konferensi Asia Afrika tahun 1955,” jelas pemandu wisata.
Roda Bandros mulai bergulir menyusuri Jalan Asia Afrika. Di sinilah pusat sejarah Bandung berada. Pemandu wisata mengarahkan pandangan penumpang ke sebuah tugu kecil di depan Kantor Dinas Bina Marga, tak jauh dari Hotel Savoy Homann. Itulah Titik Nol Kilometer Bandung.
Sejarah mencatat, pembangunan kota ini tidak lepas dari otoritas Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Saat menancapkan tongkat kayunya di lokasi tersebut, Daendels memberikan perintah pembangunan Grote Postweg atau Jalan Raya Pos (sekarang menjadi Jl. Asia Afrika). Inilah yang menjadi cikal bakal tata kota Bandung modern.
“Jl. Asia Afrika ini dulunya Jl. Raya Anyer Panarukan atau Jalan Raya Pos yang dibangun atas perintah Daendels,” jelas pemandu wisata.
Rute Bandros berakhir kembali di Alun-Alun via Jalan Kepatihan, yang dahulu merupakan tempat kediaman Patih Bandung.
Bagi wisatawan, naik Bandros bukan hanya soal foto-foto artistik, melainkan sebuah kesempatan untuk membaca kembali lembar sejarah Kota Bandung.







