Paroki Santo Joseph yang berada di Jalan Suryakencana, Kota Sukabumi bukan sekadar tempat ibadah, melainkan saksi bisu perjalanan panjang Gereja Katolik di wilayah Priangan Barat. Berdiri sejak 1889, paroki ini telah melewati tiga zaman besar yaitu masa kolonial, pendudukan Jepang, dan era kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan sumber dari Keuskupan Bogor, tonggak awal berdirinya Paroki Santo Joseph ditandai dengan pembaptisan seorang bayi bernama Alfred Pierre Yean Eugine Auguste oleh Romo MYD Claessens Pr pada 10 September 1889.
Selama lebih dari lima dekade berikutnya, gereja ini melayani komunitas Katolik yang didominasi oleh warga Eropa, terutama Belanda. Dalam periode 1889 hingga 1940, setidaknya tercatat 754 orang telah dibaptis di Paroki Santo Joseph.
Dari jumlah itu, 693 orang merupakan warga Eropa dan hanya sedikit umat pribumi yang tercatat sebagai bagian dari komunitas gereja.
Pada masa-masa awal berdiri, struktur paroki dan aktivitas pastoral sangat kental dengan nuansa kolonial. Gereja menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Eropa di Sukabumi yang kala itu merupakan kota penting di wilayah barat Jawa.
Paroki Sukabumi pada awalnya berada di bawah penggembalaan para imam dari Serikat Jesus (SJ) dan termasuk wilayah Gereja Batavia, yang kini dikenal sebagai Keuskupan Agung Jakarta.
Namun segalanya berubah drastis saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Para imam yang berasal dari Belanda, termasuk yang bertugas di Paroki Sukabumi, ditangkap dan ditahan oleh otoritas pendudukan saat itu.
Meski aktivitas sempat terganggu, justru pada masa inilah gereja mulai membuka diri kepada masyarakat pribumi. Salah satu momen penting tercatat pada 3 Maret 1942, saat Donatus Martaji menjadi orang Indonesia pertama yang dibaptis di paroki ini.
Setelah Indonesia merdeka, Paroki Santo Joseph Sukabumi mengalami transformasi besar dalam arah pelayanannya. Gereja mulai aktif membangun kehidupan umat lokal melalui bidang pendidikan dan sosial.
Salah satu langkah strategis yang dilakukan adalah pendirian Yayasan Mardi Yuana. Yayasan ini kemudian menaungi berbagai institusi pendidikan Katolik yang tersebar di kota Sukabumi.
Tepat pada 9 Desember 1948, Paroki Santo Joseph mendapat kehormatan besar saat diangkat menjadi pusat Prefektur Apostolik Sukabumi. Pater N. Geise OFM ditunjuk sebagai Prefek Apostolik pertamanya.
Seiring waktu, status gereja ini pun semakin meningkat. Arsip foto Pennsylvania Academy of the Fine Arts (PAFA) asal Amerika Serikat sempat memotret seorang seniman lokal bersama imam Fransiskan sedang berdiri di samping sebuah patung Yesus disalib. Patung itu diperkirakan dibuat pada tahun 1960-an.
Dengan gaya ukiran yang sangat khas, kemungkinan besar merupakan hasil karya seniman Indonesia. Patung ini menunjukkan bentuk inkulturasi di mana Yesus ditampilkan dengan gaya artistik yang berbeda dari patung-patung Eropa, menunjukkan bagaimana seni lokal diintegrasikan ke dalam ekspresi iman Katolik.
Pada potret kedua memperlihatkan proses pembuatan relief yang kemungkinan besar menceritakan kisah Injil, dengan seorang seniman sedang memahat di bawah pendampingan seorang pastor Fransiskan.
Hal ini memperlihatkan bagaimana para misionaris Katolik, terutama dari Ordo Fransiskan (OFM), bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk mengembangkan seni sakral yang berakar pada budaya Indonesia.
Pada 16 Oktober 1961, Prefektur Apostolik Sukabumi resmi ditingkatkan menjadi Keuskupan Bogor, dan Pater Geise diangkat sebagai Uskup pertama. Dengan status tersebut, Paroki Santo Joseph menjadi bagian penting dalam sejarah pembentukan Keuskupan Bogor, yang kini menjadi salah satu keuskupan aktif di Indonesia.
Paroki ini juga dikenal aktif mengembangkan komunitas-komunitas basis di wilayah sekitar. Saat ini, tercatat empat stasi berada di bawah naungan Paroki Sukabumi, yaitu Stasi Cicurug, Stasi Cibadak, Stasi Cisaat, dan Stasi Pelabuhan Ratu.
Stasi Pelabuhan Ratu merupakan yang paling jauh jaraknya dari gereja pusat dan mulai berkembang sekitar tahun 1974 hingga 1975. Keberadaannya menjadi bukti komitmen paroki dalam menjangkau umat di daerah pesisir.
Saat ini, Paroki Santo Joseph Sukabumi melayani sekitar 5.000 umat yang tersebar di berbagai wilayah. Pelayanan dilakukan oleh para imam dibantu biarawan, biarawati, serta berbagai kelompok kategorial.
“Dengan semangat pelayanan yang terus tumbuh, paroki ini menjadi titik temu umat dari berbagai latar belakang, membangun jembatan harmoni dalam keragaman budaya dan sosial,” kata Pastor Paroki St. Joseph Sukabumi, RD Tarcisius Puryatno kepada infoJabar beberapa waktu lalu.
Lebih dari sekadar bangunan tua, Paroki Santo Joseph Sukabumi adalah salah satu saksi sejarah dinamika Gereja Katolik di Indonesia, dari era kolonial, penjajahan, kemerdekaan, hingga kini.