Secercah Kisah Lama Dukun Santet di Jampang Kulon Sukabumi

Posted on

Kisah tentang santet di kawasan Pajampangan, Kabupaten Sukabumi, pernah menjadi sorotan media Belanda di masa silam. Catatan ini mungkin saja merupakan salah satu dokumentasi tertua tentang praktik ilmu hitam di Tanah Priangan selatan.

Dalam laporan sebuah surat kabar berbahasa Belanda tahun 1928, disebutkan bahwa seorang perempuan di Djampang Koelon (Jampang Kulon) dituduh telah mendoakan 11 orang hingga meninggal dunia. Tidak ada ramuan, tidak ada racun, hanya doa yang dibisikkan, konon kepada setan.

Laporan tersebut dimuat dalam surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, edisi Kamis, 26 Januari 1928, yang terbit di Semarang. Judul beritanya menggugah “Waanzin of Zwarte Kunst?” Gila atau Ilmu Hitam?

Mengutip dari media berbahasa Belanda yang ditranskip menggunakan aplikasi penerjemah digital, dikisahkan, di sebuah dusun di Djampang Koelon, hiduplah seorang perempuan yang disebut-sebut memiliki keahlian dalam hal ‘mengerjai’ seseorang. Ia bisa membuat orang tunduk, jatuh cinta, atau sakit semuanya atas pesanan, dan tentu saja, berbayar.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, 11 orang di kampung itu wafat dalam kondisi serupa, yaitu diawali demam tinggi, lalu tubuh mereka muncul bintik-bintik hitam di dada sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. Kasus ini mencemaskan penduduk dan akhirnya sampai ke telinga pemerintah kolonial.

Penelusuran pun dilakukan. Perempuan itu, yang dikenal sebagai doekoen, digelandang ke hadapan Tjamat (asisten wedana) pada masa itu. Di hadapan aparat, ia mengaku telah ‘mendoakan’ 11 orang tersebut agar mati.

Door bidden tot den duivel deze 11 menschen te hebben doodgebeden (Dengan berdoa kepada setan, ia telah mendoakan mati sebelas orang),”tulis media tersebut.

Yang mencengangkan, ia mengaku tak pernah memberi racikan, ramuan, atau minuman apapun. Semua dilakukan melalui bacaan doa dalam senyap. Tidak ada jejak. Tidak ada alat bukti. Hanya niat dan bisikan.

Surat kabar itu menulis: “Goede raad was duur,” nasihat yang baik kala itu terasa mahal. Karena perempuan itu pun menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak memakai satu pun “middel” atau media gaib lain, kecuali doa.

De vrouw is voorlopig preventief in Djampang Koelon gevangen gezet, tot zoolang middelen, althans maatregelen, kunnen worden getroffen, om een dergelijk gevaarlijk individu uit de maatschappij verwijderd te houden (Perempuan tersebut untuk sementara dipenjarakan secara preventif di Djampang Koelon, sampai ada cara atau langkah yang bisa diambil untuk menjauhkan individu berbahaya seperti itu dari masyarakat.”) tulis media itu.

Pemerintah kolonial bahkan mempertimbangkan memindahkannya ke Buitenzorg (Bogor) untuk observasi lebih lanjut.

Dalam konteks saat ini, kisah ini terasa seperti legenda kelam yang menolak punah. Tapi yang tercatat dalam arsip surat kabar adalah fakta: seorang perempuan ditahan karena mengaku membunuh lewat doa, dan sebelas nyawa disebut sebagai korban.

Apakah peristiwa itu cerminan dari kepanikan kolektif yang tumbuh di tengah masyarakat Pajampangan? Atau hanya satu dari sekian banyak narasi teluh yang sejak dulu mengakar dan diwariskan turun-temurun? Di tengah kepercayaan, rasa takut, dan ketidakpastian, teluh tak hanya hidup sebagai mitos, tapi menjadi kekuatan sosial yang nyata pengaruhnya.