Sampah Elektronik Mengintai Masa Depan Lingkungan Indonesia

Posted on

Sampah elektronik atau e-waste kini menjelma menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup. Sayangnya, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap jenis sampah berbahaya ini masih sangat rendah.

Bahkan tak sedikit yang mencampur sampah elektronik dengan limbah rumah tangga dan langsung membuangnya ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa proses pemilahan.

Berdasarkan Global E-waste Monitor 2024, laju peningkatan e-waste di dunia tercatat lima kali lebih cepat dibandingkan kemampuan daur ulangnya. Jumlah limbah elektronik secara global mencapai 62 miliar kilogram dan 22,3% yang berhasil didaur.

Di Indonesia, situasinya tidak kalah mencemaskan. Catatan dari Kementerian PPN/Bappenas mengungkapkan bahwa timbulan e-waste nasional pada 2023 telah mencapai 2,1 juta ton. Angka itu diproyeksikan akan melonjak menjadi 4,4 juta ton pada tahun 2030.

Andy Bahari, Leader of World Cleanup Day Indonesia, hingga saat ini belum ada sistem pengelolaan e-waste yang memadai di Tanah Air. Minimnya tempat pembuangan khusus membuat masyarakat tidak punya pilihan selain membuangnya ke TPA.

“Sampah elektronik itu ada di mana-mana dan belum ada solusinya. Sangat disayangkan masih banyak yang buang sampah elektronik ke TPA dan belum ada sistem pengelolaan khusus e-waste,” kata Andy, Jumat (13/6/2025).

Sementara Gadis Prawewari, Founder Asah dan Co-founder Parongpong mengungkapkan, masyarakat belum memahami bahaya e-waste. Ia menemukan bahwa di sekitar TPA Leuwigajah, Bandung, limbah elektronik masih dibuang begitu saja tanpa perlakuan khusus.

“Saya sempat mampir ke TPA Leuwigajah di Bandung dan warga di sekitar sana pun masih banyak yang membuang sampah sembarang, termasuk sampah elektronik,” ujarnya.

“Karena itu, masih perlu upaya edukasi yang intensif kepada masyarakat terkait pengelolaan sampah elektronik. Kita harus memberitahu bahwa sampah elektronik itu tidak melebur di tanah,” sambungnya.

Di tengah minimnya solusi struktural, sektor swasta mulai mengambil langkah awal. Salah satunya dilakukan oleh Erafone yang menghadirkan program dropbox e-waste di sejumlah gerainya. Sejak awal 2025, mereka telah berhasil mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 1.900 unit gawai bekas.

“Kegiatan tersebut berhasil mengurangi emisi karbon hingga 467 kg CO₂, menghemat energi sebesar 854 kWh, serta mengurangi kebutuhan lahan TPA/landfill sebesar 10 m²,” ucap Jimmy Perangin-angin, Group Chief of HC, GA, Litigation, & CSR at Erajaya Group.

Ancaman ini diperparah oleh gaya hidup konsumtif digital yakni gonta-ganti ponsel, beli gadget terbaru tiap tahun, tanpa tahu ke mana nasib perangkat lama dibuang.

Jimmy pun mengajak warga Bandung untuk mulai mengambil bagian dalam solusi, sekecil apapun bentuknya. “Jangan buang sampah elektronik ke TPA. Serahkan ke fasilitas dropbox agar bisa didaur ulang dengan benar,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *