Raden yang Malu Mengaku Raden

Posted on

“Banyak masyarakat (bergelar raden) yang sekarang ini merasa minder dihubungkan dengan keadaan ekonomi,” ujar Raden Haji Dadang Supadma (58).

Haji Dadang, biasa dia disapa, menunjuk satu per satu rumah-rumah sederhana yang didiami warga bergelar raden di RT 4, RW IV, Kampung Kaum, Karadenan, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dia menambahkan bahwa tidak sedikit warga yang bahkan ingin melepas gelar raden dari namanya karena malu. Alasannya beragam, mulai dari keterbatasan ekonomi, tak tahu persis asal-usul trah, hingga perilaku yang dianggap tak pantas membawa nama itu.

Kampung Kaum, atau yang dulunya dikenal sebagai Kaum Pandak, menyimpan kisah panjang tentang tradisi, identitas, dan kesederhanaan. Menurut Haji Dadang, sebutan Kaum Pandak berasal dari keberadaan pohon kawung/kaum, sejenis pohon aren, yang banyak tumbuh di wilayah ini.

“Karena banyaknya pohon kaum yang pendek maka dinamakanlah Kaum Pandak,” tuturnya membuka perbincangan santai dengan infojabar, belum lama ini.

Kopi sachet khas Bogor tersaji pagi itu menemani obrolan sejarah kawasan para raden. Hampir setiap kebun pada masa lalu, Haji Dadang melanjutkan, memiliki pohon ini, dan nama itu melekat hingga daerah tersebut berubah status menjadi kelurahan.

Sekitar tahun 1978, Kaum Pandak resmi berganti nama menjadi Karadenan. Meski begitu, tradisi penyematan nama raden tetap hidup, terutama di RW IV yang menaungi enam rukun tetangga.

“Masih banyak para keturunan yang sampai saat ini tradisinya berlanjut, digunakan secara estafet terus-menerus,” kata Haji Dadang.

Di RW IV yang berpenduduk sekitar 600 kepala keluarga, Haji Dadang memperkirakan ada 200 keluarga yang masih menggunakan gelar raden. Jika dihitung bersama anak dan cucu, jumlahnya bisa mencapai 500 jiwa. Mereka tersebar tak hanya di wilayah ini, tetapi juga di luar Karadenan. Namun, gelar bangsawan itu tak selalu selaras dengan kenyataan hidup warganya.

“Kan kalau kesan keturunan itu dari zaman dulu dikatakan menak, hidupnya orang-orang mampu, kaya, tanahnya luas di mana-mana. Nah, berbeda dengan sekarang. Ekonominya jauh berbeda,” ungkap Haji Dadang.

Pergeseran itu memunculkan rasa minder di kalangan sebagian warga. Ada yang memilih tak lagi mencantumkan raden di dokumen resmi anaknya, bahkan ada yang meminta dihapus sama sekali.

Haji Dadang mengakui, fenomena itu sudah terjadi bahkan sebelum ia menjabat RW pada 2019. Dia mengingat setidaknya tiga alasan mengapa seseorang enggan mempertahankan gelar itu: rasa minder akibat keterbatasan ekonomi, ketidaktahuan akan asal-usul trah, dan perilaku yang dianggap tak selaras dengan nilai yang terkandung dalam gelar tersebut.

Bagi Haji Dadang, gelar raden bukan sekadar simbol status. Ia memaknainya sebagai pengingat moral.

“Prinsipnya, ketika kita diwariskan nama raden, anggap saja itu pieling (pengingat) ke diri kita. Karena raden itu sendiri mengandung makna ruh dan din. Jadi, jaga perilakumu karena di situ ada nasihat,” tegasnya.

Untuk mengembalikan rasa percaya diri warga, ia melakukan pendekatan personal. Salah satunya dengan menelusuri garis keturunan warga yang ragu atau lupa asal- usulnya.

Ketika mereka menemukan sumber trahnya, kata Haji Dadang, semangat itu kembali.

“Sekarang mereka merasa percaya diri kembali. Ketika dia pesantren ditanya teman atau gurunya dari mana sumber raden-nya, dia (murid) tidak bisa menjawab, dia minta dibuang saja nama raden-nya. Tapi ketika ditemukan, mereka timbul percaya diri, bisa menjelaskan,” ujarnya.

Haji Dadang juga mengingatkan bahwa gelar raden bukanlah ukuran kemampuan finansial. “Jangan dihubungkan dengan ekonomi. Ini sebuah warisan. Ekonomi itu hubungan dengan rezeki Allah. Sekarang banyak ya, dia bertitel tapi nganggur. Itu kalau kita berpatokan dari ekonomi,” katanya sambil tersenyum tipis.

Di gang sempit tak jauh dari rumah Haji Dadang, Raden Saepudin, Ketua RT 05 RW IV, menyambut saya dengan ramah meski siang itu terasa terik. Lahir dan besar di Kaum pada 1969, ia adalah generasi penerus yang sejak awal sudah terbiasa dengan gelar raden di namanya.

“Pertama-tama saya juga sempat nanya, dari mana gelar raden itu, ternyata nama orang tua saya juga raden. Ibu saya juga raden,” ujarnya.

Namun, baginya gelar itu tak mengubah cara pandangnya terhadap hidup. “Kalau saya pribadi sih, biasa-biasa saja,” katanya.

Bapak dua anak yang bekerja sebagai buruh serabutan ini menyadari bahwa orang luar kerap menganggap raden identik dengan kemewahan. Tetapi ia menegaskan, realitas di Kaum jauh dari bayangan itu.

“Kalau kita enggak kerja, tetap saja enggak makan. Kalau bagi saya gitu,” ujarnya sambil terkekeh.

Saepudin menilai, persepsi tentang raden yang serba berkecukupan hanya berlaku bagi mereka yang memang punya faktor ekonomi kuat. Di kampungnya, gelar itu hidup berdampingan dengan rutinitas warganya yang bekerja keras, baik di sungai, pasar, maupun sektor jasa.

“Ah biasa-biasa aja lah,” ujarnya lagi, menegaskan bahwa kerja adalah kunci bertahan, bukan gelar.

Wajah Kampung Karadenan Kampung Kaum di Karadenan bukanlah kawasan mewah dengan rumah besar berhalaman luas. Jalan-jalan sempitnya dipenuhi rumah-rumah sederhana, beberapa dengan tembok yang mulai memudar. Suara anak-anak bermain, deru sepeda motor, dan aroma masakan dari dapur warga bercampur menjadi potret kehidupan sehari-hari.

Di beberapa sudut, warga berkumpul di pos seberang Masjid Al Atiqiyah. Berbincang beragam topik keseharian yang dekat dengan mereka. Di sisi lain beberapa pria bergotong royong mengangkut pasir dan mendorong gerobak.

Tidak ada yang menonjolkan status sosialnya, meski sebagian di antaranya menyandang gelar raden. Mereka hidup berdampingan tanpa sekat antara bangsawan dan rakyat biasa. Karena di sini, keduanya adalah satu.

Tradisi tetap dijaga, terutama dalam upacara adat atau momen keagamaan. Gelar raden masih dicantumkan di undangan pernikahan atau tahlilan, menjadi jejak sejarah yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.

Namun di luar itu, kehidupan berjalan seperti kampung-kampung lain, mengandalkan gotong royong, kerja keras, dan kebersamaan.

Bagi sebagian warga, mempertahankan gelar raden adalah bentuk penghormatan kepada leluhur. Bagi yang lain, melepasnya adalah pilihan pribadi untuk menghindari beban sosial atau tekanan ekonomi. Fenomena ini mencerminkan dinamika identitas di tengah perubahan zaman.

Haji Dadang memahami perbedaan itu. Dia tidak memaksa, tetapi berharap generasi muda bisa melihat gelar tersebut sebagai warisan moral, bukan beban.

“Ini pieling. Warisan itu bukan hanya harta, tapi juga nama baik dan perilaku,” ujarnya.

Sementara Saepudin lebih santai. Baginya, yang penting adalah bagaimana seseorang menjalani hidupnya sehari-hari.

“Kalau enggak kerja, ya enggak makan,” katanya, seakan merangkum filosofi sederhana warga Kaum Karadenan.

Di balik kesahajaan itu, ada kisah tentang kebanggaan, keraguan, dan pencarian jati diri. Kampung Kaum mengajarkan bahwa gelar hanyalah sebagian kecil dari siapa kita.

Sisanya dibentuk oleh kerja keras, kebersamaan, dan nilai yang dijunjung tinggi. Di sini, raden bukan sekadar status, melainkan cerita panjang yang terus mengalir dari masa lalu ke masa depan.

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *