Nama Abdul Manan mencuat usai bentrokan berdarah antara kelompoknya dengan aparat di Dusun Gunung Seureuh, Desa Sinargalih, Kecamatan Lemahsugih, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Pimpinan kelompok ‘Haur Koneng’ atau Bambu Kuning tersebut tewas tertembak dalam operasi gabungan pada tahun 1993.
Dikutip infoJabar dari koran NRC Kotak Perkakas, Edisi 13 Agustus 1993, sosok Abdul Manan sendiri dikenal sebagai pribadi pendiam dan religius. Ia lahir dan besar di Dusun Gunung Seureuh, Sinargalih, Lemahsugih, Majalengka. Sejak muda, Abdul Manan sudah dikenal sebagai santri yang tekun. Ia sempat belajar di berbagai pesantren. Salah satu gurunya di pesantren adalah Kyai Sambas.
“Hij herinnert zich Abdul Manan als een onopvallende leer- ling van zijn pesantren (islami- tisch internaat), die op religieuze hoogtijdagen nog wel eens een be- leefdheidsbezoek aflegde aan zijn oude meester. De kiai ‘beweert dat er tijdens zijn lessen nooit een regeringsvijandig woord is geval- len. De ware gelovige heeft ook de wereldlijke overheid te respec- teren, vindt Sambas, en dat be- ginsel indachtig schreef hij Manan te buigen voor het gezag. De volgende morgen rij ik via,” kenang Kyai saat diwawancarai koran NRC Kotak Perkakas pada saat itu.
“Ia mengenang Abdul Manan sebagai seorang santri yang tidak menonjol di pesantrennya, yang sesekali melakukan kunjungan kehormatan ke guru lamanya pada hari besar keagamaan. Sang kiai mengklaim bahwa tidak pernah ada sepatah kata pun yang bernada permusuhan terhadap pemerintah terucap dalam ceramahnya. Orang beriman sejati juga harus menghormati penguasa duniawi, Sambas percaya, dan dengan prinsip itu dalam benaknya ia menulis surat kepada Manan agar tunduk pada otoritas. Keesokan paginya saya berkendara lewat,” hasil terjemahan dari bahasa Belanda ke Indonesia.
Setelah menimba ilmu di pesantren, Manan mulai membentuk kelompok kecil yang dikenal Haur Koneng atau Bambu Kuning. Nama tersebut merujuk pada tongkat bambu yang selalu dibawanya sebagai simbol keyakinan dan kekuatan spiritual menurut para pengikutnya.
“De groep zou zijn naam ontlenen aan de bamboe stokken waarmee de leden rondlopen. Die zouden dienst doen als wapens en als jimat, magische voorwerpen waaraan de groep onkwetsbaar- heid denkt te ontlenen,” tulis koran tersebut yang dikutip infoJabar.
“Kelompok ini konon mengambil namanya dari tiang bambu yang dibawa para anggotanya. Ini akan berfungsi sebagai senjata dan jimat, objek magis yang diyakini kelompok tersebut dapat memberikan kekebalan,” dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Kelompok ini bermukim di lahan terpencil, membangun empat gubuk dari kayu dan bambu. Hidup mereka sangat sederhana. Tidak ada listrik, air bersih, atau alat komunikasi. Mereka menolak segala bentuk bantuan dari pemerintah.
Jumlah anggota kelompok berkisar 20-an orang, terdiri dari laki-laki, perempuan, dan beberapa anak-anak. Menurut data dari aparat desa, kelompok ini menolak untuk mengikuti program kependudukan. Mereka tidak memiliki KTP, tidak ingin membayar pajak, hingga menolak pendidikan formal.
Aktivitas sehari-hari mereka diisi dengan bercocok tanam dan ibadah. Mereka menjauh dari dunia yang dianggap penuh dosa. Mereka juga meyakini bahwa dunia luar sudah tidak lagi suci dan menyesatkan.
“Toen hij vorig jaar terugkwam, vestigde hij zich met zijn moeder, zijn twee vrou- wen en een aantal andere familie- leden aan de rand van de kampong, waar zij de grond bewerk- ten, de Koran reciteerden en zich afzonderden van de plaatselijke bevolking. Zij deden niet mee aan de volkstelling en het kampong- hoofd verzocht hen zich te laten registreren. De groep beschouwde dit als een inbreuk op hun kluize- naarsbestaan en reageerde yijan- dig. Een en ander draaide uit op een handgemeen, waarbij het kampong-hoofd klappen kreeg van een groepslid,” jelas koran tersebut.
“Ketika dia kembali tahun lalu (Manan kembali usai menimba ilmu dari pesantren), dia menetap bersama ibunya, kedua istrinya dan beberapa anggota keluarga lainnya di pinggir kampong, tempat mereka menggarap tanah, membaca Al-Qur’an dan mengisolasi diri dari penduduk setempat. Mereka tidak berpartisipasi dalam sensus dan kepala desa meminta mereka untuk mendaftar. Kelompok itu melihat hal ini sebagai gangguan terhadap kehidupan pertapaan mereka dan bereaksi dengan permusuhan. Peristiwa ini berujung pada perkelahian, di mana kepala kampung dipukul oleh salah satu anggota kelompok,”.
Meski hidup tertutup, Manan disebut tidak pernah memprovokasi masyarakat. Namun ketegangan mulai meningkat saat aparat mulai mendesak kelompok ini untuk ikut dalam pendataan dan program pemerintah.
Surat ajakan damai ditolak. Pemanggilan tidak digubris. Manan menganggap ajakan tersebut ketenangan dirinya dan kelompok. Ia juga bersumpah akan mempertahankan keyakinannya sampai mati.
Ketegangan berujung bentrok. Aparat menyisir lokasi tersebut atas dasar laporan terkait dugaan kekerasan terhadap kepala kampung oleh salah seorang anggota kelompok tersebut, karena menolak disensus kependudukan.
“Kepala kampung melapor ke polisi, dan kami harus bertindak. Orang yang dicurigai telah dipanggil tiga kali, tapi tidak pernah datang. Maka saya meminta bantuan mantan guru agama Manan, kiai Sambas. Dia menulis dua surat untuk mantan muridnya agar bekerja sama dengan otoritas. Tapi itu juga tidak berhasil. Maka kami bertindak,” kata Letkol Polisi Mochtar Djunaeni, yang memimpin operasi tersebut pada saat itu.
Saat polisi hendak menangkap salah satu anggota yang diduga melakukan kekerasan terhadap kepala kampung, Abdul Manan menolak dan meneriakkan perlawanan. “Manan teriak, ‘Dan lebih baik mati!’,” ujar Letkol Djunaeni.
Dua polisi maju ke depan mencoba negosiasi. Namun mereka diserang. Salah satu polisi jatuh tersungkur dan dikeroyok hingga tewas akibat luka senjata tajam. Rekannya terluka parah di bagian kepala dan perut.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
“Anak buah saya merasa terancam dan menembakkan pistol dinas mereka,” ucapnya.
Aparat tak lagi ragu. Gas air mata ditembakkan. Tembakan peringatan dilepaskan. Dalam kepanikan, gubuk tempat tinggal kelompok tersebut terbakar hebat. Polisi menyebut Manan sendiri yang membakarnya, namun saksi mata dari warga desa mengklaim api berasal dari lemparan molotov aparat.
Manan tewas dengan luka tembak di dada. Bersamanya, empat pengikut lain ikut gugur. Gubuk tempat tinggal mereka hangus terbakar. Sementara 16 orang ditangkap, termasuk istri dan anak-anaknya.
Kini, Abdul Manan dikenang dengan dua wajah. Bagi sebagian orang, ia adalah pemberontak dan pemimpin sekte. Tapi bagi sebagian lainnya, ia adalah sosok yang mencari ketenangan dengan caranya sendiri.