Tanggal 8 September 2025, dunia memperingati Hari Literasi Internasional dengan penuh semangat. Di banyak kota besar, perayaan itu ditandai dengan peluncuran program membaca, seminar, hingga kampanye digital tentang pentingnya literasi bagi masa depan generasi. Slogan-slogan optimistis menggema, seolah menegaskan bahwa literasi adalah kunci peradaban.
Namun, di sudut timur Kabupaten Bogor, tepatnya di SDN Tegal Benteng, Desa Babakan Raden, Cariu, realitas yang muncul justru kontras. Alih-alih merayakan kemajuan literasi, anak-anak di sekolah ini bergulat dengan keterbatasan paling mendasar. Mereka belajar di ruang kelas dengan dinding retak, atap bocor, kursi reyot, bahkan sebagian terpaksa menumpang belajar di rumah warga.
Sekolah seharusnya menjadi tempat anak-anak merajut mimpi dengan gembira, ruang yang aman untuk belajar, bermain, dan tumbuh bersama. Namun di sini, pengalaman itu sering berubah menjadi ancaman yang menakutkan. Pecahan keramik lantai yang terlepas bisa melukai kaki kecil yang berlarian, genteng rawan jatuh dari atap, hingga debu yang beterbangan dari jendela tak lagi rapat.
Suasana belajar di SDN Tegal Benteng memperlihatkan wajah nyata keterbatasan itu. Sebagian siswa duduk di kursi sederhana di bawah atap kayu terbuka, lantai masih berupa susunan bata yang tak rata.
Di kelas lain, yaitu rumah warga yang dipinjami untuk belajar, anak-anak bersila di atas tikar berwarna-warni, menulis sambil tengkurap, sementara papan tulis bersandar di dinding rapuh. Di sisi papan tulis, guru tetap tekun membimbing, dengan kesabaran yang tak kalah kokoh dibanding dinding sekolah yang nyaris roboh.
“Kegiatan belajar mengajar alhamdullilah berjalan lancar, baik di ruang kelas yang kurang layak ataupun di rumah warga,” kata Suhar, salah satu guru SDN Tegal Benteng, kepada infoJabar, Senin (8/9/2025).
Segala kemampuan para guru dikerahkan agar proses belajar-mengajar tetap berlangsung. Meski demikian, rasa was-was tak pernah hilang. “Walaupun di kelas yang kurang memadai itu kadang was-was khawatir genteng jatuh, tembok roboh seketika,” ujar Suhar, yang mulai mengajar di sekolah ini sejak 2006.
Apa yang dialami siswa dan guru jauh dari kenyamanan. Bahkan Suhar sendiri mengaku beberapa kali mengalami batuk dan sakit pernapasan, kondisi yang semakin sering dirasakannya dua tahun terakhir. “Enggak ada sama sekali kenyamanan, memprihatinkan sekali,” ungkapnya.
Semangat warga ikut menopang keberlangsungan sekolah. Dua kelas terpaksa menumpang di rumah penduduk: kelas 1 dengan lima siswa, dan kelas 2 dengan sepuluh siswa. Suhar mengatakan, belum tahu sampai kapan situasi ini berlangsung. Jika salah satu unit bangunan rampung direhab, kemungkinan besar kelas-kelas itu akan kembali, dengan sistem jam belajar yang diatur bergantian.
Untuk mencapai Desa Babakan Raden dari pusat Kabupaten Bogor di Cibinong, perlu waktu lebih dari dua jam dengan jarak hampir 70 kilometer. Jalan menanjak, berliku, dan melewati sawah serta hutan rakyat membuat wilayah ini terasa jauh dari pusat pemerintahan. Cariu sendiri berada di ujung timur Kabupaten Bogor, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di selatan dan Kabupaten Karawang di utara.
Kontras dengan Cibinong yang telah menjelma menjadi kota satelit penuh mal, perkantoran, dan jalan raya padat, Babakan Raden justru menghadirkan wajah berbeda. Alamnya sejuk dengan ladang hijau dan perbukitan, tetapi infrastruktur dasar, termasuk pendidikan, jauh tertinggal.