Di sebuah ruang sunyi di layanan hospice, seorang perawat bernama Laura M telah mendampingi sekitar 300 pasien melewati masa-masa terakhir hidup mereka. Hospice, sebuah layanan yang berfokus pada kenyamanan dan kualitas hidup pasien di akhir perjalanan, adalah ruang di mana kata-kata sering menjadi warisan terakhir.
Menurut Laura, tugas terpentingnya bukan hanya memberikan perawatan fisik, tetapi mendengarkan. Dari sanalah ia menerima pesan-pesan terakhir, kadang berupa penyesalan, kadang pengakuan, dan tak jarang merupakan permohonan maaf yang terlambat.
Dan dari ratusan suara yang pernah ia dengar, sebagian besar mengandung nada yang sama, yakni penyesalan.
Salah satu kisah yang paling membekas bagi Laura adalah tentang George, veteran Perang Dunia II berusia 92 tahun. Selama bertahun-tahun ia hidup dalam permusuhan dengan saudaranya-perang dingin yang tidak pernah benar-benar dimenangkan siapa pun.
“Aku memenangkan pertengkarannya, tapi kehilangan seumur hidup,” ujar George dengan suara yang hampir hilang. Sesaat kemudian, ia memejamkan mata untuk selamanya.
Laura berkata, tidak ada satu pun pasien yang meninggal dengan harapan mereka dulu pernah lebih keras, lebih tegas, atau lebih menang dalam pertikaian. Justru yang paling menyakitkan adalah kesempatan untuk bersikap baik yang pernah mereka lewatkan.
Pesan lain yang sering muncul adalah penyesalan karena terlalu berfokus pada harta. Laura mengenang seorang pensiunan insinyur kaya-seorang pria yang hidup dalam bayang-bayang ketakutan akan kemiskinan.
“Aku begitu takut menjadi miskin sampai aku menjadi kaya… tapi dalam ketakutan,” ucapnya lirih.
Ia menghabiskan hidup mengejar angka, namun lupa mengejar kebahagiaan. Tabungan yang dikumpulkannya seumur hidup bahkan tak sempat ia nikmati.
Di ambang kematian, banyak orang baru menyadari satu kebenaran sederhana: memaafkan adalah kebebasan.
“Memaafkan membebaskan, bahkan lebih daripada oksigen,” ujar salah seorang pasien kepada Laura.
Pasien itu akhirnya memilih memaafkan anaknya, setelah sekian lama hubungan mereka retak tanpa upaya perbaikan.
“Aku tak bisa mati dalam keadaan marah,” katanya.
Tiga puluh menit kemudian, ia pergi dengan wajah lebih tenang.
Bagi Laura, pesan-pesan ini bukan sekadar cerita. Mereka adalah pengingat: bahwa hidup sering kali diisi dengan hal-hal yang kita kejar, namun di akhir perjalanan, yang tersisa hanyalah cinta, maaf, dan hal-hal sederhana yang membuat hati menjadi ringan.
Di ruang-ruang sunyi hospice, manusia kembali pada dirinya yang paling jujur. Dan dari kejujuran itulah kita belajar-walaupun kadang terlambat-apa yang sebenarnya penting dalam hidup.
Artikel ini sudah tayang di infoHealth, baca selengkapnya .







