Perjuangan Siswa di Pelosok KBB, Bertaruh Nyawa Naik Rakit ke Sekolah

Posted on

Firli, Kaila, dan beberapa bocah lainnya menanti sebuah rakit mendekat bibit perairan Waduk Saguling. Alat transportasi sangat sederhana berbahan bambu itu jadi jemputan mereka.

Rakit yang dikemudikan seorang pria dewasa itu setia mengantarkan mereka menuntut ilmu ke sekolah yang terpisah aliran Sungai Citarum selebar 120 meter. Sudah bertahun-tahun mereka naik turun rakit setiap hari.

Firli kini sudah duduk di bangku kelas 4 SD, sementara Kaila masih kelas 2 SD. Mereka tercatat sebagai siswa SD Negeri Panaruban, di Kampung Cangkuang, Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Sementara rumah mereka ada di Kampung Sampora, Dusun 2, RT 03/RW 08, Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Bandung Barat. Perjuangan yang tak mudah di usia mereka yang masih sangat-sangat muda namun bertaruh nyawa demi masa depan lebih cerah.

Perjalanan mereka melewati perairan Waduk Saguling menggunakan rakit demi memangkas waktu dan jarak tempuh. Jika melewati jalur darat dengan sepeda motor, mereka mesti menempuh perjalanan antara 15 sampai 20 kilometer. Namun jika menyeberangi perairan, tak lebih dari 3 kilometer dengan waktu tempuh 10 sampai 20 menit.

“Setiap hari naik rakit kalau mau ke sekolah. Kalau naik motor jauh,” kata Kaila (9) saat berbincang dengan infoJabar, Selasa (27/5/2025).

Ia bersiap ke sekolah sejak jam 05.30 WIB, lalu mulai perjalanan ke sekolah pada jam 06.00 atau jam 06.30 WIB. Tak ada angkutan umum seperti di perkotaan, hanya mengandalkan kaki menapaki permukaan beton dan tanah merah.

Ia lalu naik ke rakit, jika sedang beruntung tak perlu menunggu lama sampai jemputannya datang. Namun jika sedang apes, mesti menunggu sampai 15 menitan demi bisa naik rakit sampai ke seberang. Rakit di kampung tersebut bukan jadi sarana transportasi utama, sehingga tak ngetem seperti angkot pada umumnya.

“Biasanya sama teman-teman, enggak bayar juga. Enggak takut, soalnya sudah biasa,” kata Kaila.

Sementara itu, Firli juga menjalani rutinitas yang sama. Ia kadang tak sampai ke sekolah jika rakit yang ditunggu tak kunjung datang. Termasuk jika musim hujan tiba yang menyebabkan permukaan air Waduk Saguling naik.

“Kadang suka lama, jadi kesiangan ke sekolahnya. Kalau sudah gitu biasanya ya enggak jadi ke sekolah. Jadi inginnya ada jembatan penyeberangan,” kata Firli.

Jika mereka naik rakit, tak perlu terlalu pusing memikirkan ongkos. Sebab biasanya mereka cuma membayar seikhlasnya, tak dipatok besarannya. Setelah turun, para siswa bakal melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki melewati area persawahan yang jalannya sudah dibeton.

“Ya lumayan, capek tapi sudah biasa apalagi jalannya dengan teman-teman,” kata Firli.

Pihak sekolah mencatat saat ini ada sebanyak 5 orang siswa yang berangkat sekolah naik rakit. Jumlah tersebut jauh berkurang ketimbang tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 15 sampai 20 siswa.

“Tahun ini cuma 5, ada sebetulnya 2 lagi tapi mereka diantar jemput orang tuanya naik sepeda motor. Jadi yang naik rakit sepengetahuan kami cuma 5 anak,” kata Dodo Jalal, salah seorang guru SDN Panaruban.

Perjalanan para siswa itu bukan tanpa risiko. Apalagi rakit yang mereka tumpangi sama sekali tak memenuhi unsur keselamatan transportasi di perairan. Cuma berbahan bambu, tanpa dibekali rompi keselamatan buat para penumpangnya.

Hal itu pula yang akhirnya mendasari kebijakan sekolah membatasi penerimaan siswa dari kampung di seberang. Hal itu demi keamanan dan keselamatan siswa yang bersekolah.

“Dulu itu bisa sampai 20 anak, karena memang dari kampung itu yang terdekat juga ke sini. Cuma sekarang itu kita batasi, karena faktor keselamatan. Bukan 1 atau 2 anak yang pernah meninggal, karena memang berbahaya,” kata Dodo.

Dodo sendiri merupakan warga Kampung Cimonyet, RT 05/RW 06, Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Bandung Barat. Kampung yang juga ada di seberang sekolah tempat ia mengajar sejak puluhan tahun lalu.

“Saya dulu juga sebelum naik motor itu naik rakit kalau ke sekolah, ternyata sampai sekarang dilanjutkan siswa. Jadi kalau berangkat itu celana harus dilipat, sepatu disimpan di keresek soalnya bisa basah. Khawatir tenggelam juga,” kata Dodo.

Ia berharap pemerintah daerah maupun Provinsi Jawa Barat mau melirik keberadaan mereka di pelosok Bandung Barat. Semangat yang menyala dari masyarakat dan anak-anak demi kehidupan yang lebih baik.

“Jadi memang inginnya dibuatkan jembatan, minimal bisa buat jalan kaki jadi tidak terlalu jauh. Mudah-mudahan bisa terwujud,” ucap Dodo.

Khawatirkan Keselamatan Siswa

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *