Komite orang tua siswa SLBN A Pajajaran Bandung telah bertemu Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dan memperoleh kepastian bahwa para siswa dapat kembali menempati bangunan sekolah mereka di kompleks Wyata Guna setelah proses renovasi rampung.
Diketahui saat ini, sejumlah bangunan di komplek Wyata Guna sedang dibongkar untuk direnovasi menjadi sekolah rakyat. Dari beberapa bangunan yang dibongkar itu, termasuk diantaranya ruang kelas SLBN A Pajajaran.
Tri Bagyo, Wakil Ketua Komite Orang Tua SLBN A Pajajaran, menyampaikan bahwa dalam pertemuan Selasa (20/5) kemarin, gubernur menjamin kepulangan para siswa ke sekolah lama, lengkap dengan rencana penataan ruang yang akan digunakan pasca-renovasi.
“Intinya, siswa-siswi setelah renovasi bisa kembali lagi ke SLBN A Pajajaran di kompleks Wyata Guna. Mereka akan menggunakan Gedung B dan C, juga ruang keterampilan yang akan diganti dengan bangunan baru. Jadi, sudah ada kepastian setelah renovasi, siswa bisa kembali belajar di sana,” ujar Tri saat dikonfirmasi, Rabu (21/5/2025).
Namun bukan hanya soal kepastian tempat belajar yang disampaikan komite kepada gubernur. Dalam kesempatan itu, komite orang tua juga menyerahkan surat permohonan hibah tanah kepada Pemprov Jabar, untuk kemudian diteruskan ke Kementerian Sosial.
Hibah ini menurut Tri menjadi hal yang tak kalah penting demi kepastian hukum atas status lahan SLBN A Pajajaran, yang selama ini masih menjadi bagian dari aset Kemensos.
“Surat permohonan hibah sudah kami serahkan ke gubernur dan diteruskan ke sekretaris daerah. Tinggal menunggu proses selanjutnya agar bisa dikirim ke Kemensos,” ungkapnya.
Sejak proses renovasi bangunan dilakukan, sebagian siswa SLBN A Pajajaran kemudian direlokasi ke SLBN Cicendo sebagai tempat belajar sementara. Namun, adaptasi di lokasi baru tidak berjalan mudah.
Dari total 111 siswa, sekitar 53 siswa harus mengikuti proses belajar di Cicendo, sementara sebagian lainnya tetap menjalani kegiatan praktik di sisa ruang yang belum dibongkar di lokasi awal.
“Kegiatan praktik seperti olahraga, komputer, dan kesenian tidak bisa dilaksanakan di Cicendo karena fasilitas dan alat bantu di sana berbeda, disesuaikan untuk siswa tunarungu, bukan tunanetra,” ungkap Tri.
“Akhirnya, untuk pelajaran yang bersifat praktik, anak-anak tetap harus ke SLBN Pajajaran di ruang yang masih bisa dipakai,” imbuhnya.
Kondisi ini tentu menyulitkan para orang tua. Selain harus menyesuaikan jadwal dan kebutuhan siswa, mereka juga harus mengatur transportasi ke dua lokasi berbeda. “Ya jadi repot untuk orang tua. Harus kesana-kemari antar jemput anak. Tapi ya bagaimana lagi, ini kebijakan pemerintah dan kami tetap ikuti,” ujarnya.
Tidak hanya repot secara logistik, penyesuaian siswa tunanetra dengan lingkungan baru juga membutuhkan waktu. Tri menyebut, siswa-siswi SLBN A Pajajaran yang sebagian besar memiliki hambatan penglihatan, perlu proses orientasi berulang kali untuk bisa mengenal lingkungan Cicendo.
“Anak-anak ini kan ada yang MDVI (Multiple Disabilities with Visual Impairment), jadi butuh waktu untuk orientasi. Tidak cukup sekali, bisa berkali-kali supaya mereka hafal jalur. Lingkungan di Cicendo tidak didesain untuk siswa tunanetra, jadi dari sisi fasilitas juga banyak kendala,” paparnya.