Mendengar kata Pancaniti, penikmat sejarah dan musik tradisional Sunda akan langsung teringat pada seorang bernama Dalem Pancaniti, julukan Bupati Cianjur ke-10, R.A.A Kusumahningrat.
Dalem Pancaniti adalah sosok pencipta seni Mamaos dan yang berkontribusi dalam memperkaya nada-nada dalam musik tradisional Sunda, terutama yang terkait laras madenda (sorog) ketika memainkan alat musik Kecapi Sunda dalam Tembang Sunda Cianjuran.
Menurut drs. Enip Sukanda dalam buku ‘Kecapi Sunda’ (Depdikbud RI, 1996) dijelaskan bahwa laras sorog atau madenda itu adalah yang oktafnya naik sedikit dari laras pelog.
“…laras sorog atau madenda tinggal menaikkan (meninggikan) kurang lebih 200 cent dari setiap dawai yang bernada panelu; kira-kira dari g ke a.” tulisnya.
Sekarang ini, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sering mengungkapkan ‘Pancaniti’. Dalam banyak kesempatan, dia mengasosiasikan Pancaniti sebagai konsep hidup dan konsep pendidikan seorang manusia.
Nyatanya, di Kabupaten Purwakarta, Pancaniti telah menjadi konsep belajar yang dikukuhkan dengan Peraturan Bupati (Perbup) Purwakarta No.103 Tahun 2021 mengenai Tatanen di Bale Atikan. Memang Perbup tersebut baru mengatur konsep ini terkait pelajaran bertani di sekolah.
Lalu, apa dan bagaimana itu Pancaniti? infoJabar mencoba mengurainya dalam artikel ini. Simak sampai tuntas yuk!
Pancaniti berasal kata ‘Panca’ yang berarti lima, dan ‘niti’ yang berati ‘titian’ atau tahapan. Sebenarnya, nama Pancaniti ini sebelumnya disematkan pada sebuah bangunan di kompleks Pendopo Kabupaten Cianjur.
Di tempat itu, Bupati Cianjur yang ketika itu masih sebagai Ibu Kota Karesidenan Priangan R.A.A Kusumahningrat biasa merenung dan mencurahkan pikirannya ke dalam karya-karya, meliputi musik dan bahasa Sunda. Karena kebiasaannya itu pulalah, R.A.A Kusumahningrat mendapat julukan Dalem Pancaniti.
Sesuai namanya, Pancaniti mengandung lima tahapan. Di dalam pendidikan, hal ini diurai dengan jelas menjadi lima tahapan pembelajaran yang dilakukan atau dialami para siswa hingga meraih sebuah pengetahuan mendalam tentang sesuatu hal.
Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Ervin Aulia Rachman, dkk. di SDN 1 Nagrikidul, Purwakarta tentang penerapan konsep pancaniti ini. Studi berjudul ‘Model Pembelajaran Pancaniti Dalam Pendidikan Karakter’ itu dimuat Jurnal Educatio, vol.8, no.4, 2022.
Berikut ini adalah Pancaniti atau Lima Tahap yang telah diterapkan dalam dunia pendidikan di Purwakarta itu:
Niti harti merupakan tahap pertama model belajar Pancaniti. Dalam tahap ini, menurut Ervin Aulia Rachman, dkk. “siswa distimulus untuk memperoleh pengetahuan menggunakan panca indera secara empiris melalui proses mendengar, membaca, melihat serta mengamati.”
Setelah melakukan pengamatan dengan panca indra, para siswa memasuki tahap kedua yang disebut Niti Surti. Dalam bahasa Sunda, ‘surti; berarti ‘mengerti’. Dalam tahapan ini, siswa distimulus untuk bisa mengomunikasikan secara verbal apa yang telah ditemukannya dalam tahapan pertama.
Mengomunikasikan berarti juga “memprediksi solusi kemudian merancang sebuah aktivitas berupa proyek untuk mengatasi kesenjangan yang ditemukan pada tahap niti surti”.
Pengamatan dan analisa boleh jadi hanya omong kosong belaka jika rencana-rencana yang telah dirancang tidak dieksekusi, tidak dijalankan. Maka, pada tahap Niti Bukti ini, siswa distimulus untuk membuktikan.
“Pada tahapan niti bukti, peserta didik melakukan pencarian informasi melalui literasi, mengeksplorasi sumber data yang diperoleh, dan melakukan serangkaian aktivitas untuk mempraktikan rancangan proyek yang telah disusun pada tahapan niti surti.”
Selayaknya penyelesaian masalah, selalu perlu adanya evaluasi. Maka, Niti Bakti merupakan tahap evaluasi dan tahap ini bisa juga dijadikan standar kompetensi untuk menentukan kelulusan peserta didik.
“Niti sajati merupakan puncak pancaniti yang menunjukkan capaian pembelajaran peserta didik melalui presentasi dan publikasi dari proyek yang telah mereka laksanakan. Niti sajati merefleksikan bahwa peserta didik secara komprehensif mampu melakukan tahapan-tahapan pancaniti dengan baik sehingga terbentuk profil pelajar Pancasila secara utuh dalam diri peserta didik.”
Dalam pelajaran bertani di Sekolah, tahap niti harti bisa dilakukan dengan meminta para siswa untuk mengenal jenis-jenis tanaman yang sedang dihadapinya melalui penglihatan dan pengamatan secara langsung. Kemudian, niti surti yakni para siswa mengetahui ada beberapa tanaman yang kurang sehat dan itu menjadi persoalan yang harus dicarikan solusinya. Dengan sigap, siswa merumuskan rencana perbaikan tanaman itu. Misalnya, dengan rencana pemberian pupuk.
Setelah rencana didapat barulah niti bukti. Rencana itu, diwujudkan dalam bentuk pembuatan dan pemberian pupuk yang sesuai dengan kondisi penyakit yang dihadapi tanaman. Mungkin solusi yang dipilih bukan pestisida untuk menghilangkan hama, melainkan penguatan akar dengan pupuk kocor organik yang pas.
Upaya itu nyatanya membuahkan hasil. Namun, bukan berarti tanpa kekurangan. Hal-hal yang telah dilakukan perlu evaluasi. Maka, masuklah para siswa ke dalam tahap niti bakti, yakni tahap evaluasi. Terakhir, yang paling puncak dari semua tahapan yang telah dilewati adalah niti sajati. Yakni, para peserta didik mendapati dirinya kini telah menjadi insan kreatif dan orisinal.