Pedati Gede Pekalangan, Harta Karun Sejarah di Balik Gang Cirebon

Posted on

Sinar mentari berwarna keemasan turun perlahan, menyoroti gang kecil di Kelurahan Pekalangan, Kota Cirebon. Sore itu, waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Suasana gang tampak lengang. Hanya ada seorang pria berjalan pelan-pelan, menyusuri jalur yang tak begitu lebar.

Di kiri dan kanan gang, tembok tinggi berdiri tegak, membentuk lorong panjang yang melintasi permukiman. Di salah satu sisi tembok, lukisan Masjid Agung Sang Cipta Rasa tampak mencolok. Di sebelahnya, gambar Pedati Gede Pekalangan ikut terpampang.

Namun, dua lukisan yang terukir di tembok itu terlihat lebih dari sekadar karya seni jalanan. Keduanya seolah ingin menyampaikan pesan tentang keberadaan benda istimewa yang ada di dalam gang.

Gang ini hanya memiliki lebar sekitar tiga meter dan cukup untuk dilalui sepeda motor dengan kecepatan pelan. Namun di balik gang sempit itu, tersimpan jejak sejarah yang terus dijaga oleh warga sekitar, yaitu Pedati Gede Pekalangan.

Pedati yang kaya akan nilai sejarah itu tersimpan di sebuah bangunan sederhana yang terletak di tengah permukiman warga, tepatnya di wilayah RW 05 Pekalangan Selatan, Kelurahan Pekalangan, Kecamatan Pekalipan, Kota Cirebon.

Dari luar, bangunan bercat merah itu terlihat biasa aja, tak jauh berbeda dengan bangunan lain yang ada di sekitarnya. Namun di bagian pintu dan dinding bangunan, beberapa tulisan menjelaskan bahwa inilah tempat penyimpanan Pedati Gede Pekalangan.

Suasana terasa sangat berbeda setelah melewati puluhan meter dari pintu gang. Di lingkungan sekitar bangunan tempat penyimpanan Pedati Gede Pekalangan, suasana terasa hidup oleh berbagai aktivitas warga sekitar.

Di sana, anak-anak terlihat ceria bermain sepatu roda. Di sisi lain, ibu-ibu berdiri di depan rumah sembari menyuapi anak-anak mereka. Suasana semakin hidup dengan banyaknya warga yang berlalu lalang. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang bersepeda.

Di tengah hiruk-pikuk aktivitas warga sekitar, keberadaan Pedati Gede Pekalangan menjadi sesuatu yang mencuri perhatian. Sore itu, pintu bangunan tempat penyimpanan pedati tampak sedikit terbuka. Di baliknya, terlihat sosok seorang wanita yang tengah berjaga.

Wanita itu adalah Taryi (75), sang juru kunci Pedati Gede Pekalangan. Senyum ramah terpancar dari wajah Taryi saat infoJabar mendatanginya. Saat itu, Taryi tengah melakukan rutinitasnya, yaitu menjaga pedati yang dianggap sakral oleh warga sekitar dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Sudah puluhan tahun Taryi mengemban tugas sebagai juru kunci Pedati Gede Pekalangan. “Saya jadi juru kunci Pedati Gede sejak tahun 1995,” kata Taryi kepada infoJabar belum lama ini.

Menurut Taryi, Pedati Gede Pekalangan adalah benda bersejarah peninggalan Pangeran Cakrabuana, salah seorang tokoh pendiri Cirebon. Pada masanya, pedati ini memiliki peran penting sebagai alat transportasi Pangeran Cakrabuana dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

“Pedati ini kepunyaannya Pangeran Cakrabuana, dibuatnya tahun 1371 Saka. Manfaatnya untuk menyiarkan agama Islam. Dari Jakarta sampai Surabaya, merayap dari dusun ke dusun untuk menyiarkan agama Islam,” kata Taryi.

“Kemudian di masa Wali Songo, Pedati Gede juga digunakan untuk mengangkut material saat pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa,” sambung dia.

Taryi adalah warga setempat. Rumahnya berdiri persis di samping bangunan yang difungsikan sebagai tempat penyimpanan Pedati Gede Pekalangan. “Itu rumah saya, gentengnya kelihatan,” ujarnya sambil menunjuk ke arah atap yang terlihat dari balik jendela kaca.

Hampir setiap hari, Taryi berada di ruangan tempat Pedati Gede Pekalangan disimpan. Ia setia menjaga, merawat, dan memastikan warisan leluhur itu tetap lestari.

Di dinding luar, sebuah papan informasi menjelaskan Pedati Gede Pekalangan telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Keputusan ini berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor PM.58/PW.007/MKP/2010, serta berdasarkan Keputusan Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001.

Sama seperti namanya, pedati gede memiliki ukuran cukup besar. Berdasarkan keterangan yang tercantum di papan informasi tersebut, awalnya, Pedati ini memiliki panjang sekitar 15 meter dan mempunyai 12 roda. Namun, kebakaran yang pernah melanda wilayah Pekalangan membuat Pedati Gede ikut terbakar. Taryi mengatakan, kebakaran tersebut terjadi pada tahun 1930.

Saat ini, jumlah roda pedati gede hanya tersisa delapan buah yang terpasang di sisi kiri dan kanan. Sementara empat roda lainnya kini tersimpan rapi di samping pedati dengan ditutupi kain putih.

“Sebenarnya rodanya 12. Tapi tahun 1930 terjadi kebakaran. Sekarang rodanya tinggal delapan. Yang empat roda lagi ngga bisa dipasang. Disimpan di samping pedati ditutup kain putih,” ujar Taryi.

Sebagai juru kunci, hingga kini Taryi masih setia menjaga dan merawat Pedati Gede. Hampir setiap hari, ia rutin membersihkan ruangan yang menjadi tempat penyimpanan pedati. “Kalau sehari-hari sih paling nyapu sama ngepel. Kalau ngerawat pedati gedenya seminggu dua kali. Ngerawatnya dibersihkan pakai minyak lentik,” kata Taryi.

Selain sebagai benda bersejarah, Pedati Gede Pekalangan juga dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Bahkan di waktu-waktu tertentu pedati ini kerap dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai daerah.

“Kalau bulan Mulud itu ada saja yang datang. Dari Jakarta, Surabaya, Bandung dan dari daerah-daerah lain. Mereka biasanya berdoa sendiri-sendiri. Kalau yang yakin, insyaallah permintaannya dikabul. Tapi memintanya tetap sama Allah,” kata Taryi.

Di sisi lain, di waktu-waktu tertentu warga sekitar juga rutin menggelar tahlilan di lokasi tersebut. Setiap pelaksanaannya, mereka bergotong-royong menyiapkan segala keperluan, mulai dari makanan, minuman, hingga perlengkapan lainnya.

Menurut Taryi, kebersamaan itu menggambarkan kesadaran warga untuk merawat Pedati Gede Pekalangan sekaligus melestarikan tradisi yang telah berlangsung secara turun-temurun.

“Kalau malam kliwon ada yang tahlil di sini. Yang tahlil warga sekitar. Ya alhamdulillah, ada yang ngasih berasnya, ada yang ngasih ikan ayam, ada yang ngasih kue, ada yang ngasih buah dan segala macam. Jadi warga juga saling menjaga dan melestarikan,” kata dia.

Setiap tanggal 1 Muharram atau 1 Suro, warga Kelurahan Pekalangan memiliki agenda rutin, yaitu menggelar sedekah bumi sebagai wujud rasa syukur atas limpahan rezeki dan keselamatan. Tradisi ini juga menjadi momen sakral untuk mengenang jasa leluhur dan menjaga warisan budaya.

Salah satu bagian yang tidak boleh terlewatkan dalam rangkaian sedekah bumi ini adalah pagelaran wayang kulit. Pagelaran tersebut biasa diselenggarakan di lokasi yang berada persis di samping bangunan tempat penyimpanan Pedati Gede Pekalangan. “Acara intinya di sini. Untuk acara wayang kulitnya juga di sini. Tapi untuk waktunya itu tergantung dalangnya. Kadang 1 Suro, waktu kemarin 2 Suro” kata Taryi.

Sementara itu, Lurah Pekalangan, Wartono, mengatakan tradisi sedekah bumi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Menurutnya, salah satu inti dari tradisi ini adalah mendoakan leluhur dan tokoh-tokoh yang dulunya berjasa di wilayah ini.

“Sedekah bumi itu tradisi yang digagas oleh masyarakat setempat. Inti dari sedekah bumi ini adalah doa bersama dan ziarah ke makam sesepuh. Kemudian salah satu acara yang wajib ada adalah pagelaran wayang kulit,” kata dia.

Menurut Wartono, warga sekitar biasanya bahu membahu dalam menyelenggarakan sedekah bumi. Mereka rela urunan untuk memenuhi berbagai kebutuhan untuk pelaksanaan tradisi tersebut. “Setiap tahun warga biasanya urunan untuk pelaksanaan sedekah bumi,” kata dia.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tradisi sedekah bumi di Kelurahan Pekalangan mulai dikemas lebih menarik. Selain doa bersama dan pagelaran wayang kulit, rangkaian acara turut dimeriahkan dengan penyelenggaraan kirab atau arak-arakan yang menampilkan kekayaan budaya lokal.

“Karena ini merupakan tradisi tahunan yang perlu dijaga, saya ajak RW-RW bergabung untuk menjadikan sedekah bumi sebagai ikon budaya di Kelurahan Pekalangan,” kata dia.

Dalam perjalanannya, sedekah bumi yang diisi oleh kirab budaya disambut antusias oleh masyarakat sekitar, bahkan dari luar daerah. Acara tersebut juga kemudian masuk dalam rangkaian Hari Jadi Cirebon.

“Di tahun 2025, masyarakat nanya ‘Pak Lurah ada kirabnya lagi nggak’. Ternyata mereka antusias. Jadi kirab kita pertahankan. Dan kita coba masukan dalam rangkaian Hari Jadi Cirebon,” kata dia.

Kirab budaya yang menjadi bagian dari sedekah bumi di Kelurahan Pekalangan ini berlangsung semarak. Banyak warga yang ikut dalam arak-arakan dengan menampilkan beragam kesenian lokal.

“Semula target kita cuma 500 orang. Tapi pas pelaksanaan ternyata yang ikut sampai 2.000 orang. Kreasinya ada membuat ogoh-ogoh macan, burung dan lain-lain. Kemudian ada juga yang menampilkan barongsai, tari topeng dan sebagainya. Jadi alhamdulillah antusias warga tinggi sekali,” kata dia.

Ia berharap, kirab budaya yang menjadi bagian dari rangkaian tradisi sedekah bumi di Kelurahan Pekalangan dapat menjadi daya tarik wisata yang mampu mendatangkan lebih banyak pelancong ke Kota Cirebon. “Harapan kita pariwisata yang ada di Kelurahan Pekalangan banyak dikunjungi oleh wisatawan. Baik dari dalam maupun luar negeri,” kata dia.

Wartono menyebut, pedati gede sendiri telah menjadi salah satu ikon Cirebon. Bahkan, Pemerintah Kota Cirebon telah membuat replika pedati gede yang berdiri megah di kawasan gedung BAT, Jalan Pasuketan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon.

Menurut Wartono, kehadiran replika tersebut akhirnya menumbuhkan rasa penasaran banyak orang untuk melihat Pedati Gede yang asli, yang disimpan di dalam gang sempit di Kelurahan Pekalangan.

“Pedati Gede mungkin sudah banyak terdengar oleh masyarakat, tapi seperti tidak nampak. Karena memang posisinya berada di tengah-tengah gang sempit,” kata dia.

“Sekarang banyak masyarakat yang bertanya-tanya pedati gede yang asli itu ada di mana. Bahkan pernah ada yang tanya ke saya, ‘Pak Lurah, kalau yang di BAT itu ikon dari mana, saya jawab itu dari Kelurahan Pekalangan. Jadi sekarang masyarakat sudah mulai mencari ikon yang aslinya,” ujar Wartono.

Warisan Sakral yang Terjaga

Sedekah Bumi di Pekalangan

Diwarnai Kirab Budaya

Pedati Gede Jadi Ikon Cirebon

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *