Kematian mahasiswi baru UIN Sunan Gunung Djati Bandung AR (19), yang terjatuh dari lantai 11 parkiran salah satu mal di Kota Bandung, Senin (15/9) lalu, memunculkan fakta yang memilukan. Semasa SMA, dia ternyata pernah menjadi korban bully dan sedang menjalani pengobatan mental.
Dosen Fakultas Psikologi Unisba Dinda Dwarawati turut memberikan pandangannya soal kasus ini. Ia mengatakan, bully merupakan tindakan yang akan terus terekam dalam memori korban dan menimbulkan efek jangka panjang.
“Dampak psikologis kalau terus menerus tentu akan terekam di dalam memori dia. Emosinya menjadi tidak stabil, semua aspek yang terekam di panca indranya, kalau terus menerus dilakukan, diyakini oleh korban yang tidak bisa melawan. Sehingga, walaupun pelakunya tidak ada, itu akan tercipta satu narasi yang kita sebut sebagai skizofrenia,” katanya saat berbincang dengan infoJabar, Selasa (23/9/2025).
Akademisi yang menjabat sebagai Ketua ULPT Fakultas Psikologi Unisba itu menyatakan, luka mental tak bisa dideteksi dibanding luka fisik. Sehingga, perilaku orang sekitarnya pun mesti hati-hati agar korban bully tersebut tidak melakukan tindakan ekstrem seperti bunuh diri.
“Isu terkait bunuh diri itu perilaku yang terlihat, yang kita perlu secara bijak dan hati-hati untuk tidak menduga-duga dia kenapa. Sekecil apapun mungkin maksud kita bercanda, kritik, itu harus hati-hati sekali,” ungkapnya.
Saat seseorang mengalami masalah kesehatan mental, orang itu akan cenderung merasa sendirian. Di momen ini, tak hanya kepedulian yang dibutuhkan dari lingkungan sekitarnya, namun juga tidak langsung menghakimi orang tersebut.
“Dan orang yang mendengarkan, kadang tidak sabar dan menjudge kalau kamu kurang solat, tidak mau berbaur, akhirnya kita mengekang sebagai individu yang menganggap normal hal itu,” tuturnya.
“Kita mesti membantu dia ada di situasi aman. Enggak membiarkan dia sendiri, akses layanan secara cepat, menghilangkan potensi terhadap tempat ataupun benda yang berisiko. Karena intinya, jangan pernah menjadikan isu bunuh diri itu hal yang sepele,” tambahnya.
Untuk itu, Dinda berharap, mulai dari sekarang, semua pihak mulai peduli dengan kondisi siapapun, termasuk mereka yang mengalami kesehatan mental. Pada intinya, jangan membiarkan mereka merasa sendirian, sehingga potensi tindakan ekstrem seperti bunuh diri bisa dilakukan.
“Risiko bunuh diri itu bisa berubah dari waktu ke waktu. Satu sisi dia bisa terlihat stabil, membaik, tapi di sisi lain lonjakan risikonya bisa muncul tiba-tiba. Jadi mulai sekarang, kita harus makin peduli dengan lingkungan sekitar. Karena kondisi kesehatan mental yang bermasalah itu tidak terlihat,” pungkasnya.