Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.
Tragedi bunuh diri siswi MTs di Kabupaten Sukabumi menyisakan pertanyaan tentang sejauh mana sekolah mampu membaca tanda-tanda anak didiknya yang tertekan.
Dari surat yang ditulis tangan korban, tampak perasaan terluka akibat perlakuan teman-temannya. Namun, gejala-gejala emosional yang ia rasakan tampaknya tidak terbaca oleh lingkungan sekitarnya, termasuk sekolah.
Psikolog Sukabumi Dikdik Hardy, yang pernah menjadi tenaga ahli psikologi pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi, menjelaskan bahwa kasus seperti ini sering kali bermula dari perundungan yang tidak disadari.
Menurutnya, tindakan bunuh diri pada korban perundungan merupakan bentuk agresi intrapunitif yakni penyaluran kemarahan atau tekanan batin kepada diri sendiri.
“Awalnya mungkin korban hanya mengalami kerentanan emosi (sensitif) dengan perilaku marahnya (seperti dalam isi surat),” ujar Dikdik, saat dimintai tanggapan, Minggu (2/11/2025).
Dikdik menjelaskan bahwa tanda-tanda awal seperti ini semestinya bisa dikenali sejak dini, baik oleh guru, teman sebaya, maupun keluarga.
“Ciri-cirinya bisa dilihat dari dampak atau efek bullying dari yang ringan, seperti kerentanan emosi atau sensitivitas emosi (marah, sedih, murung), mengurung diri, tidak mau bersosialisasi dengan teman, keluhan sakit, misal maag, migran (psikosomatis),” tuturnya.
Namun, dalam praktiknya, gejala-gejala tersebut sering kali luput dari perhatian lingkungan sekitar.
“Sepertinya lingkungan sekitar korban tidak menyadari jika korban mengalami pembullyan dan korban tidak mendapatkan support system untuk mengantisipasi dampak bullying,” ungkap Dikdik.
Ia menilai, peran dukungan emosional dari lingkungan sekitar sangat penting untuk mencegah kondisi psikologis korban semakin memburuk.
“Sikap orang terdekat bila melihat indikasi seperti itu harus segera dilakukan pendekatan atau dirangkul secara emosional (support system), berikan ruang untuk mengekspresikan emosi negatif (marah, sedih, kesal) tanpa memberikan penilaian, dan lakukan pendampingan sampai muncul kepercayaan diri (mengantisipasi trust issue),” kata Dikdik.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Dalam kasus siswi MTs di Sukabumi, gejala-gejala emosional itu tampak dari surat yang ditulis korban sebelum kematiannya. Ia mengungkap rasa lelah dan luka karena perlakuan teman-temannya.
“Dalam pola perilaku bullying, biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku utama atau leader yang berperan memprovokasi orang lain agar ikut serta membully, dan orang yang terpengaruh sehingga ikut melakukan perilaku bullying,” jelas Dikdik.
Catatan infoJabar, dari berbagai kasus yang pernah terjadi, sekolah sering kali baru bereaksi setelah muncul peristiwa besar, bukan saat tanda-tanda awal terlihat. Padahal, sistem deteksi dini di sekolah semestinya mampu menangkap perubahan sikap atau perilaku murid yang mengalami tekanan sosial.
Dikdik menambahkan, dampak perundungan berbeda pada tiap individu, tergantung daya tahan psikis dan dukungan lingkungan.
“Memang efek dari bullying pada setiap korban berbeda satu sama lain, dan itu sangat tergantung dari daya tahan psikis dari masing-masing korban bullying termasuk support system dari orang terdekat,” ujarnya.
Menurutnya, penyelesaian masalah perundungan tidak cukup dengan menghentikan perilaku pelaku, melainkan juga membenahi pola pikir kedua pihak.
“Untuk mengantisipasi perilaku bullying diperlukan sikap yang bijak, bukan hanya sekadar menghentikan perilaku bullying tetapi merubah perilaku pelaku bullying (dengan masalah superiornya) dan korban bullying (dengan masalah inferiornya),” kata Dikdik.







