Gedung Sate kini sedang mendapat sentuhan baru. Gerbangnya, yang menjadi akses keluar-masuk ke kantor Gubernur Jawa Barat (Jabar) tersebut mengalami perubahan besar-besaran dengan memadukan unsur budaya kesundaan.
Gerbang yang lama diganti dengan desain bertajuk Gapura Candi Bentar. Meski bentuknya belum terlihat setelah pembangunan ulang, pilar-pilar bata terakota sudah tersusun rapi dengan arsitek gaya tradisional khas Tatar Sunda.
Di tengah proses pembangunan, warga maupun netizen di sosial media yang melihat bentuk baru gerbang Gedung Sate menjadi terbelah. Ada yang mendukung karena bentuk gerbang itu merepresentasikan kearifan lokal, tapi tak sedikit yang merasa heran karena sentuhannya berbeda dengan gaya bangunan kolonial.
Kondisi itu turut dikomentari Ahli Cagar Budaya sekaligus Ahli Pemugaran Cagar Budaya di Jabar, Tubagus Adhi. Pria yang menjabat sebagai Jejaring dan Humas Bandung Heritage Society ini berpandangan tidak ada yang salah dengan sentuhan Gapura Candi Bentar yang dibangun di kawasan Gedung Sate.
“Sebenarnya kan gini, kalau di cagar budaya itu kudu dilihat dulu. Pada konteks pemugaran, kalau cagar budaya teh ada istilahnya ada pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan,” kata Adhi mengawali perbincangannya dengan infoJabar, Jumat (21/11/2025).
“Nah kalau merubah, di pelindungan itu kan ada pemugaran. Tapi di pengembangan ada konstruksi, rehabilitasi dan restorasi, itu ada adaptasi namanya. Adaptasi bangunan itu tuh, sudah diatur dalam undang-undang,” ungkapnya menambahkan.
Adhi kemudian membeberkan soal regulasi tentang Cagar Budaya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010. Secara garis besar, undang-undang itu mengatur bahwa pengembangan cagar budaya diperbolehkan dengan menyesuaikan kebutuhan masa kini, namun tidak mengakibatkan kemerosotan nilai-nilai dari bangunan cagar budaya itu, termasuk mempertahankan ciri asli hingga landscape cagar budayanya.
“Ini kan terkait yang kita sebut sebagai nilai penting. Kalau menurut saya, itu penting, karena pagar itu harus mendukung aksesibilitas untuk perjalanan kaki, difable, atau bahkan kejadian seperti kebakaran,” bebernya.
Berdasarkan catatan Adhi, gerbang Gedung Sate bukan tergolong cagar budaya. Sebab, pagar itu menurutnya dibangun sekitar tahun 1980-an oleh pemerintah dan bukan berada di masa Kolonial Belanda.
“Kalau masa kolonial, itu enggak ada pagarnya. Tapi kan penting sekarang pakai pager, gimana kalau kejadiannya seperti kemarin, yang diberi pagar aja dibakar di DPRD, gimana ini kalau ada yang iseng, kan gitu,” ujarnya.
Sebagai pegiat cagar budaya, Adhi berpandangan tidak ada yang salah dengan konsep Garupa Candi Bentar di Gedung Sate. Sebab ia berpandangan, arsitek Gedung Sate zaman dulu, J. Gerber, merancang bangunan itu dengan konsep art deco yang memadukan gaya kolonial hingga unsur tradisional Nusantara.
“Gedung Sate sama Gerber arsiteknya itu didesain dengan gaya elektik yang kita sebut art deco. Kalau di Eropa, itu karena terinspirasi dari ditemukannya makam-makam Firaun di Mesir, terus kalau di Amerika itu karena mereposisi dari makam-makam Suku Aztec,” katanya.
“Nah di kita, pada masa Hindia Belanda, itu mereposisi ke Candi Hindu-Budha. Bagi saya secara pribadi, Gapura Candi Bentar konteksnya keren, ada sentuhan nilai sejarahnya. Dan di kita ini baru, beda dengan di Jawa Tengah, Jawa Timur sama Bali yang sudah menerapkan konsep itu,” pungkasnya.
