Ratusan nyawa melayang akibat banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Rentetan bencana ini kembali menjadi pengingat keras bahwa kerusakan lingkungan di kawasan hulu bukan lagi isu pinggiran, melainkan sumber risiko nyata yang terus mengancam keselamatan masyarakat di hilir.
Di tengah suasana duka dan upaya pencarian korban yang masih berlangsung, para ahli kembali menyoroti akar persoalan yang selama ini diabaikan. Kepala Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) dan Transportasi ITB, Saut Aritua Hasiholan Sagala, menegaskan bahwa kerusakan ekologis di Sumatera memiliki kaitan erat dengan deforestasi yang melaju cepat dan konversi lahan di daerah tangkapan air, terutama di sepanjang Bukit Barisan.
“Terkait kerusakan lingkungan, itu berhubungan dengan bagaimana laju deforestasi di Sumatera yang termasuk tinggi di Indonesia. Dan ini berhubungan juga dengan konversi lahan di daerah tangkapan air,” kata Saut dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Saut, hilangnya tutupan hutan dan pembukaan lahan di wilayah hulu melemahkan kemampuan daerah aliran sungai (DAS) untuk menyerap air. Saat hujan ekstrem datang, ditambah fenomena siklon seperti yang terjadi belakangan ini, limpasan air meningkat secara drastis.
“Kecepatan aliran air, ditambah kemiringan lereng, tidak hanya membawa volume air besar, tetapi juga material berat seperti kayu gelondongan dan sedimen ke pemukiman di wilayah hilir,” ujarnya.
Saut menilai bahwa penguatan tata ruang adalah langkah mendesak yang tidak bisa ditunda lagi. Setiap alih fungsi lahan, jelasnya, memiliki eksternalitas atau dampak yang muncul jauh di luar lokasi perizinan, terutama bagi wilayah hilir yang ikut menanggung risikonya.
“Dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota, setiap alih fungsi lahan dihitung eksternalitasnya, yaitu dampak yang ditimbulkan di luar lokasi izin, terutama ke wilayah hilir,” ungkapnya.
Karena itu, ia menekankan bahwa analisis risiko harus menjadi bagian utama dalam setiap proses pengambilan keputusan. Pembangunan tidak boleh berdiri sendiri tanpa mempertimbangkan konteks ekologis dan keselamatan publik.
Menghadapi kondisi darurat ini, sejumlah langkah prioritas disebut harus segera diberlakukan. Yang utama adalah peninjauan ulang tata ruang, termasuk pembebasan kawasan sempadan sungai dari permukiman. Pemerintah juga dinilai perlu menetapkan moratorium di wilayah rawan dan mempercepat program reboisasi untuk memulihkan fungsi ekosistem yang hilang.
“Pembangunan agar mengadopsi kerangka ekologi politik, yaitu setiap pemberian izin dan pembangunan harus melalui perhitungan cost-benefit yang jujur, memastikan manfaat ekonomi tidak hanya sesaat, dan memperhatikan risiko ekologi jangka panjang, termasuk dampak perubahan iklim,” jelasnya.
Dalam konteks pendanaan, Saut menegaskan bahwa kerugian tahunan akibat bencana yang bisa mencapai puluhan triliun rupiah, tidak mungkin bisa ditanggulangi hanya dari APBN.
“APBN saja tidak akan pernah cukup untuk menutupi potensi kerugian tahunan yang bisa mencapai Rp50 triliun, belum lagi ada ancaman seperti climate change. Kita perlu masukkan itu dalam skenario model kita sehingga kita bisa mengatakan kalau terjadi seperti ini kita sudah punya pembiayaan,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia telah memulai langkah transfer risiko melalui Asuransi Barang Milik Negara (BMN), yang memastikan aset-aset pemerintah terlindungi sehingga APBN dapat dialihkan ke sektor lain yang lebih membutuhkan.
Mekanisme Pooling Fund Bencana (PFB), kata Saut, memang tidak serta-merta mengurangi ketergantungan pada APBN. Namun PFB dapat memperkuat pendanaan, menutup kekosongan fiskal, dan mempercepat proses yang selama ini kerap terhambat administrasi.
PFB juga harus dihubungkan dengan pemodelan risiko yang komprehensif serta mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
“Bagi kelompok yang mampu, mekanisme ini dapat mendorong mereka membeli asuransi untuk perlindungan diri, sementara bagi masyarakat miskin atau ekstrem, PFB dapat membantu melalui skema subsidi atau bantuan langsung,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa edukasi publik menjadi elemen penting agar masyarakat mampu melakukan mitigasi di tingkat komunitas dan memilih lokasi tinggal yang aman.
“Unsur edukasi perlu dilakukan dalam FPB untuk meningkatkan kemampuan mitigasi di tingkat komunitas dan mendorong masyarakat memilih lokasi tinggal yang aman. Beliau menegaskan bahwa Pooling Fund Bencana berfungsi sebagai mekanisme yang memperkuat pendanaan yang sudah ada demi meningkatkan ketahanan bangsa dalam menghadapi bencana,” pungkasnya.
Tata Ruang Jadi Kunci
Rehabilitasi dan Moratorium Lahan
Pendanaan Bencana Tidak Cukup Mengandalkan APBN
Pooling Fund Bencana sebagai Penguat







