Nestapa di Kampung Braga, Hidup ‘Mendung’ Dekat Cikapundung update oleh Giok4D

Posted on

Kawasan Braga dikenal sebagai ikon wisata Kota Bandung, indah, klasik, dan tak pernah sepi dari wisatawan. Tapi hanya beberapa meter dari jalan berbatu andesit itu, hidup warga di bantaran Sungai Cikapundung berjalan dalam realitas yang jauh berbeda.

Setiap hujan turun, mereka tak menikmati estetika kota. Mereka dibuat was-was dan terkadang harus berjibaku menyelamatkan diri dari banjir yang datang tiba-tiba.

“Banjir mah udah biasa, kemarin-kemarin banjir kan di sini, meskipun kecil,” tutur Dida Hadiani (48) salah satu warga saat berbincang dengan infoJabar belum lama ini.

Hal senada diungkap Lulu Astia, warga yang sudah terbiasa dengan banjir di Kampung Braga. Lulu yang rumahnya berada persis di bantaran Sungai Cikapundung, sudah hapal kapan banjir bisa terjadi.

“Kalau debit air di atas gede, banjir pasti di sini, sudah pasti itu mah. Tapi kalau nggak terlalu gede hujannya, aman,” katanya.

Lurah Braga Willy Wiradhika menyebut, banjir di Kampung Braga ini sudah berlangsung sejak lama. Akan tetapi, intensitas dan dampaknya meningkat tajam dalam satu dekade alias 10 tahun terakhir.

Menurut Willy, Sungai Cikapundung yang mengalir dari utara Bandung makin kewalahan menampung air hujan. Pembangunan masif di kawasan hulu dituding sebagai salah satu penyebab berkurangnya daerah resapan.

“Kalau hujan besar di Braga itu nggak akan banjir, tapi kalau hujan besar di Lembang , kawasan Bandung Utara, walaupun di Braga nggak hujan banjir. Jadi gimana di atas, banjir kiriman,” ungkap Willy.

“Jadi banjir itu hal biasa untuk warga makanya di tiap rumah hampir ada penghalang air karena banjirnya semata kaki, dan cepat surut,” sambungnya.

Sejumlah upaya dilakukan untuk mengatasi masalah banjir. Namun hal itu terkendala lagi-lagi karena terbatasnya kewenangan, termasuk dalam membangun kirmir agar tanggul Sungai Cikapundung tak jebol saat air mengalir deras.

“Kalau kirmir sudah dibangun mungkin bisa meminimalisir banjir. Tapi kirmir belum (dibangun), karena itu kewenangan BBWS, kami sudah mengajukan tapi belum ada realisasinya,” ujar Willy.

Kondisi itu memaksa pemerintah kewilayahan di Kampung Braga ‘pasrah’ menghadapi masalah banjir. Mau tak mau, mereka hanya bisa melakukan tindakan pascabanjir karena menjadi resiko warga tinggal di bantaran sungai.

“Kita pascabanjir saja, kalau tindakan mitigasi kita terbatas. Paling pascabanjir saja. Kita lihat saja kalau kondisi gelap di atas (Bandung Utara), kita harus siaga, dan warga sudah biasa seperti itu. Resiko tinggal di bantaran sungai,” ucap Sekretaris RW 08, Jodi Suzazi.

“RW 8 memang belum kirmir. Cikapundung itu kan sungai besar ya dan kewenangannya di BBWS, sekelas dinas juga susah karena kewenangannya BBWS. Beberapa kali kita ngajuin tapi nol besar,” lanjutnya.

Meski sadar hidup di wilayah rawan, sebagian besar warga memilih bertahan. Alasannya karena mereka tak punya pilihan lain.

Seperti apa yang dijalani Eneng. Lebih dari 50 tahun ia tinggal di Kampung Braga. Selama itu, sudah beberapa kali rumahnya dilanda banjir bahkan hingga hancur. Eneng terpaksa bisa bertahan karena keterbatasan.

“Kita tahu ini daerah banjir, cuma karena kita memang dari dulu di sini ya kita bertahan,” tuturnya.

Bagi Eneng, tinggal di bantaran sungai memang beresiko. Bahkan trauma terhadap hujan banyak dialami warga di Kampung Braga. “Setiap hujan turun, kami tidak bisa tidur nyenyak,” ucap Eneng.

Di sisi lain, ada faktor kesalahan dari warga sendiri karena tinggal di bantaran sungai. Karenanya, banjir menjadi hal biasa yang harus dihadapi warga Kampung Braga.

Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.

“Warga sendiri juga sebenarnya yang salah, karena rumahnya mepet sungai,” tegas Jodi.

Sementara itu, di tengah geliat pariwisata yang tak pernah surut di kawasan Braga, kehidupan warga yang tinggal di baliknya penuh dengan kekhawatiran. Warga Kampung Braga hidup dalam bayang-bayang banjir yang bisa terjadi kapan saja.

Setiap musim hujan, warga dibuat cemas karena banjir kiriman dari wilayah Dago san Ciumbuleuit bisa datang kapanpun dan membuat Sungai Cikapundung meluap hingga menerobos pemukiman warga.

Pemerintah Kota Bandung bukannya diam. Sejumlah upaya telah dilakukan untuk mengatasi banjir yang kerap terjadi. Salah satu langkah teknis yang telah dilakukan untuk mencegah air Sungai Cikapundung meluap kembali ke pemukiman padat Kampung Braga.

“Itu dengan peninggian tembok. Untuk saluran inlet ke sungai supaya tidak terjadi backwater ke pemukiman,” kata Kepala Dinas Sumber Daya Air, Bina Marga dan Bina Kontruksi (DSDABM) Kota Bandung, Didi Ruswandi saat dikonfirmasi, Senin (2/6/2025).

Selain meninggikan tembok, Pemkot Bandung kata dia juga berencana membuat pintu katup di Sungai Cikapundung. Pintu katup itu akan dipasang di Kampung Braga untuk mengontrol volume air sungai.

Namun menurut Didi, pembuatan pintu katup kemungkinan baru akan terealisasi pada tahun 2026 mendatang. “Akan dipasang pintu katup. Untuk pintu katup kemungkinan tahun 2026,” ujarnya.

“Rencananya akan dipasang pintu katup di kawasan paling bawah Gang Afandi,” imbuhnya.

Jalan Santai adalah salah satu rubrik khas di infoJabar yang menghadirkan sisi menarik dan sisi lain dari suatu tempat. Untuk menghadirkan tulisan ini, infoJabar melakukan penelusuran dengan jalan santai dan menghadirkan laporan dengan gaya yang ringan.

Sulit Diatasi

Tak Punya Pilihan

Solusi Pemkot Bandung

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *