Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyampaikan rencana besar untuk menyambungkan seluruh wilayah Kota Kembang dengan sistem transportasi massal modern.
Dalam gagasannya, Bandung bagian barat hingga timur akan dilayani oleh sistem Bus Rapid Transit (BRT), sementara jalur selatan ke utara akan dikoneksikan melalui pembangunan monorel. Namun, wacana itu justru mendapat sindiran dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno, menilai Farhan terlalu muluk-muluk dan tidak belajar dari pengalaman kota-kota lain yang pernah mencoba membangun monorel.
“Monorel itu cocok untuk daerah wisata. Pengalaman sudah membuktikan, di Singapura monorel ada di Pulau Sentosa. Jakarta mau membangun monorel juga gagal, di Malaysia ada monorail tidak dilanjutkan karena diambil alih pemerintah semasa Mahathir,” ujar Djoko, Kamis (7/8/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa gagasan serupa pernah muncul di Kota Bandung saat Ridwan Kamil menjabat wali kota, namun tidak pernah terwujud hingga masa jabatannya berakhir.
Djoko juga menyinggung pernyataan Farhan yang menyebut Kementerian Perhubungan telah berkomunikasi dengan pemerintah Perancis soal menghidupkan kembali kembali proposal monorel Bandung.
“Bandung di era Ridwan Kamil juga pernah berencana membangun monorel, tapi juga tidak terwujud. Tentunya Wali Kota Bandung begitu percaya dengan Menhub, sudah ke Perancis, seolah-olah itu berhasil. Biayanya dari mana?,” ujarnya.
Daripada memaksakan proyek ambisius seperti monorel, Djoko menyarankan agar Farhan fokus terlebih dahulu pada penataan angkutan kota (angkot) yang hingga kini masih menjadi tulang punggung transportasi warga Bandung.
“Lebih baik Wali Kota Bandung fokus saja ngurusi angkot. Lima tahun bisa beresin angkot itu sudah prestasi luar biasa. Jadi gak usah aneh-aneh. Yang sederhana, yang udah dilihat, tidak menggusur pengusaha angkot yang ada, menyejahterakan masyarakatnya,” tegasnya.
Djoko juga mewanti-wanti agar ambisi pembangunan infrastruktur transportasi tidak justru mengorbankan pelaku usaha kecil dan warga yang selama ini menggantungkan hidup dari sistem transportasi yang ada.
“Jangan sampai membangun infrastruktur transportasi tapi justru membunuh masyarakatnya sendiri. Tujuan menyejahterakan jadi tidak akan tercapai,” pungkasnya.